Serangan ke Cebongan Terencana

Serangan ke Cebongan Terencana

Sutiyoso Sebut TNI Pengangguran Tingkat Tinggi JAKARTA - TNI AD boleh saja menyebut jika serangan ke Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, tidak direncanakan. Namun, pernyataan yang bertolak belakang justru muncul dari mantan Danjen Kopassus Letjen (Pur) Sutiyoso. Dia menyebut, jika serangan tersebut sangat mungkin direncanakan meski dalam waktu singkat. Dugaan tersebut disampaikan Sutiyoso dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, kemarin (6/4). Sebagai orang yang cukup lama mengabdi di korps baret merah, Sutiyoso mengaku, memahami keputusan balas dendam yang dilakukan sejumlah oknum kopassus kepada empat tahanan di Lapas tersebut. Menurut dia, jiwa korsa atau esprit de corps ditanamkan begitu kuat di Kopassus. Semangat itu sangat penting bagi prajurit, karena berkaitan erat dengan loyalitas dalam hal bela negara. \"Kalau kemudian jiwa corsa digunakan secara berlebihan seperti kasus Cebongan, itu salah. Tapi tetap harus ditumbuhkembangkan,\" terang mantan gubernur DKI Jakarta itu. Usai memutuskan untuk balas dendam, Bintara U tidak langsung terjun. Dia memilih mengajak beberapa rekannya untuk ikut beraksi. Dalam hal ini, mereka mulai berbagi tugas. Misalnya untuk pengadaan senjata, tidak menutup kemungkinan mereka mengambilnya dari gudang. Sutiyoso menuturkan, setiap malam, jika tidak ada latihan, senjata akan digudangkan dan untuk mengambilnya ada prosedur. Namun, bisa saja prosedur itu dilanggar oleh para pelaku demi mendapat senjata. \"Mungkin saja mereka bekerja sama dengan bintara penjaga gudang. Di gudang itu ada granat, senjata api, rompi,\" terangnya. Kemudian, untuk polemik seputar surat bon, Sutiyoso mengatakan, bisa saja yang dibawa itu memang kertas berkop Polda Daerah Istimewa Jogjakarta. Mereka tidak mendapatkannya secara resmi, namun melalui kenalan sesama bintara di Polda DIJ. Nyatanya, hingga kini belum ada bukti konkret apakah surat bon itu asli atau palsu. Menurut Sutiyoso, dengan adanya peristiwa Cebongan, mestinya semua pihak mulai mengevaluasi diri. Bagi TNI sendiri, lanjutnya, kontrol perwira atas anak buahnya harus lebih ditingkatkan. Begitu juga polisi dan Kemenkum HAM. Sutiyoso tidak menampik jika hulu permasalahan antara TNI dan Polri tidak lepas dari TAP MPR Nomor 6 tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Sebelum pemisahan itu, TNI terutama AD memegang banyak peran strategis di pertahanan dan keamanan, bahkan politik. Setelah dipisah, fungsi TNI hanya sebatas pertahanan. Perubahan fungsi tersebut menimbulkan tekanan psikologis terhadap TNI AD. Sebagai alat pertahanan, TNI baru akan berfungsi jika diserang. Tapi, di era reformasi tidak pernah ada serangan yang membahayakan kedaulatan negara. \"Akhirnya mereka (TNI, red) menjadi pengangguran tingkat tinggi,\" lanjut pria 68 tahun itu. TNI AD memiliki unit 81 untuk mengantisipasi aksi terorisme. Namun, fungsinya telah digantikan oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang lahir belakangan. Dalam menghadapi separatis di hutan belantara pun, Polri yang pegang kendali. Padahal, gaya separatis itu adalah gaya perang. TNI AD, terlebih Kopassus, sudah sangat terlatih untuk menghadapi teroris maupun separatis. Mereka bahkan sampai dikirim berlatih di negara maju demi meningkatkan kemampuan. Namun, hasil latihan keras tersebut tidak pernah teraplikasikan, karena yang turun menghadapi separatis tetap saja Polri. Menurut Sutiyoso, hal itu menimbulkan kesenjangan. TNI menjadi penganggur, sementara Polri tampak sibuk. Karenanya, dia menyarankan sebagian fungsi keamanan dikembalikan lagi ke TNI AD. Misalnya untuk memberantas teroris dan separatis. \"Beban Polri sudah terlalu berat, sementara secara kuantitas mereka kurang,\" ujarnya. Bahkan, diakui atau tidak, kemampuan Polri secara umum masih belum sebaik polisi di negara maju. Pengembalian fungsi itu akan bisa mengurangi beban Polri yang menumpuk. Tipe-tipe separatis yang cenderung menantang perang akan lebih mudah diatasi oleh TNI. Sutiyoso meminta masyarakat dan media massa jangan antipati terhadap TNI, termasuk Kopassus pascaperistiwa Cebongan. \"Bagaimanapun juga, kita tetap butuh TNI,\" ucapnya. Sikap antipati masyarakat bisa menjatuhkan mental prajurit untuk jangka panjang. Dia juga mengapresiasi pengakuan dari sebelas oknum Kopassus Kartasura. \"Saya tetap bangga terhadap prajurit baret merah,\" tutupnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Nurkholis mengatakan, jika perubahan fungsi itu memengaruhi psikologis TNI, ada baiknya saran Sutiyoso dipertimbangkan. Jangan sampai TNI hanya lihai pada saat latihan, namun ompong saat terjun di pertempuran sebenarnya. \"Ini harus menjadi  bahan di DPR. Cari peranan yang tepat bagi TNI,\" ujarnya. Nurkholis mengaku, kecewa dengan Kopassus, karena Komnas HAM dan TNI sebenarnya sudah menandatangani MoU untuk menjaga jangan sampai ada pelanggaran HAM yang dilakukan TNI. Karenanya, Komnas HAM tetap akan menyelidiki kasus tersebut meski sudah ada pengakuan dari oknum Kopassus Kartasura. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Tohari mengajak semua pihak untuk mulai manatap ke depan pascapengumuman secara terbuka hasil temuan Tim Pencari Fakta TNI AD terkait insiden Lapas Cebongan. Bukan hanya tindak lanjut hukum atas temuan, lebih jauh dia juga berharap, peristiwa penyerangan dan pengungkapan para tersangka dari Kopassus juga dijadikan momentum pemberantasan premanisme di Indonesia. \"Momentum ini harus dimanfaatkan untuk pemberantasan premanisme,\" ujar Hajriyanto kemarin (6/4). Menurut dia, peristiwa penyerangan lapas tetap tidak bisa dilepaskan dari terbunuhnya anggota Kopassus sebelumnya oleh para preman. Dia menyatakan, kalau aparat keamanan dan penegak hukum perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk menyikat habis premanisme di negeri ini. \"Sekarang momentum yang sangat berharga untuk memberantas premanisme sampai akar-akarnya,\" tandasnya. Sebab, lanjut dia, sudah bukan sebuah rahasia lagi, kalau masyarakat di berbagai tempat mengalami keresahan luar biasa atas maraknya premanisme. Rakyat, menurut dia, banyak yang tidak berdaya menghadapi aksi para preman di berbagai sentra kehidupan. \"Rakyat tidak berani membalas aksi-aksi para preman,\" ujar salah satu politisi senior di Partai Golkar itu. Berbeda dengan situasi masyarakat secara umum, dia menyatakan, kalau telah terbukti secara faktual bahwa aparat TNI lah yang memiliki keberanian membalas aksi para preman. \"Hanya sayangnya, pembalasannya kemarin dilakukan secara melawan hukum dan main hakim sendiri saja,\" tandas Hajriyanto. Tapi, imbuh dia, jika perlawanan terhadap tindak premanisme dilakukan lewat prosedur hukum yang tepat, maka rakyat pasti akan berada di belakang aparat keamanan dan penegak hukum. \"Sungguh ini momentum yang sangat tepat untuk memberantas premanisme di negeri ini. Semua demi tegaknya hukum dan aturan, sekaligus mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat,\" tegasnya kembali. (byu/dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: