11 Oknum Kopassus Belum Tersangka
Polri Klaim Tak Bekingi Preman JAKARTA - Proses hukum kasus penembakan brutal di Lapas Klas II B Cebongan, Sleman terus berjalan. Namun, hingga kini kesebelas oknum Kopassus yang telah mengakui perbuatannya tersebut, belum juga menyandang status tersangka. Alasannya, kesebelas prajurit tersebut masih dalam proses pelengkapan penyidikan. \"Kesebelas orang itu sekarang kita geser ke Semarang. Mereka dalam proses pelengkapan penyidikan. Kalau kemarin kan penyelidikan ditingkatkan menjadi penyidikan, begitu penyidikan selesai baru nanti kita limpahkan pengadilan. Nah, pada saat itulah silakan diikuti semua jalannya persidangan,\" jelas KSAD Pramono Edhie Wibowo usai acara Olahraga Bersama dan Ramah Tamah Presiden RI dan Wakil Presiden RI dengan TNI AD di Mabes TNI AD, kemarin (9/4). Namun, Pramono menekankan, kesebelas oknum tersebut tidak lama lagi bakal resmi menjadi tersangka. \"Akan arahnya ke sana,\" tegasnya. Ketika ditanya apakah kasus penembakan brutal hanya berhenti sampai di level prajurit, Pramono enggan menjawab. Begitu juga saat disinggung kemungkinan adanya proses hukum bagi komandan grup. Dia hanya menekankan, hingga saat ini, pihaknya masih fokus pada kesebelas prajurit tersebut. \"Sampai dengan saat ini 11 itulah yang kami jelaskan. Nanti kita ikuti, kan ada penyidikan. Penyidikan itu bukan akhir dari segalanya. Yang jelas baik komandan yang lama, komandan yang baru mengatakan saya siap apapun yang akan diberikan oleh atasan,\" tegasnya. Ipar Presiden SBY tersebut mengakui jika terdapat kesalahan dalam penerapan jiwa korsa (komando satu rasa) terkait kasus tersebut. Pramono menuturkan tidak ada kesalahan dalam penanaman jiwa korsa, karena hal tersebut dibutuhkan. \"Seorang militer harus punya jiwa korsa karena itu rohnya. Kalau dia tidak punya jiwa korsa, suatu saat kawannya terluka di dalam pertempuran mau ditinggal atau mau dibawa? Ditinggal dibunuh, padahal dia masih terluka tapi tidak bisa berjalan. Dibawa, kalau dibawa digotong harus empat orang menggotong jadi tidak bisa menembak. Kalau dia tidak punya jiwa korsa dia tinggal temannya. Namanya jiwa korsa itu tidak salah dalam penanamannya, mungkin salah dalam penerapannya,\" urainya. Karena itu, Pramono memaparkan, pihaknya akan mengevaluasi kembali penanaman jiwa korsa kepada para prajurit. Akan dibahas kapan jiwa korsa tersebut bisa diterapkan dan kapan tidak perlu. \"Kami evaluasi kembali, sehingga jiwa korsa kapan pakainya, kapan nggak boleh. Jiwa korsa itu tidak salah, saya pesan ini media, ingat ya kejujuran. Kejujuran ksatria bertanggung jawab mulai langka, tapi harus ada,\" papar dia. POLRI BANTAH KOMPROMI DENGAN PREMAN Sementara, Mabes Polri membantah keras rumor di masyarakat, bahwa polisi melindungi premanisme sebagai mitra. Sebaliknya, Polri mengklaim tak ada kompromi jika mereka berbuat kejahatan. \"Kami terbuka saja. Silakan dilaporkan ke propam kalau memang ada anggota kita yang menjadi beking-beking seperti yang disebutkan itu,\" ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, di kantornya, kemarin (9/04). Boy menjelaskan, laporan itu bisa dilakukan secara tertutup jika khawatir akan keselamatan pribadi. \"Kami punya mekanisme untuk melakukan pengawasan dan penindakan internal,\" katanya. Aduan itu dapat dilakukan melalui surat atau email. \"Bisa juga langsung ke sini (Mabes Polri, red). Prinsipnya kami sangat terbuka dengan semua aduan,\" kata mantan kanit negosiasi Densus 88 Mabes Polri itu. Boy menegaskan, instruksi kapolri untuk menertibkan premanisme jelas. \"Silakan cek datanya ke polda-polda. Operasi selalu rutin dilakukan. Jadi, tidak benar kalau polisi melindungi premanisme,\" katanya. Dia merujuk pada operasi Polda Metro Jaya yang rutin. Bulan lalu bahkan kelompok Hercules disikat di Jakarta Barat. Hingga kini, Hercules yang dikenal sangar itu masih ditahan di Polda Metro Jaya. Namun, menurut Boy, memberantas premanisme tidak bisa mengandalkan penegakan hukum saja. \"Harus sinergi. Misalnya, dari sisi lapangan kerja, tentu pemerintah daerah harus bisa mengakomodasi,\" ungkapnya. Jika pemuda usia produktif memperoleh pekerjaan yang layak tentu tidak terjun dan berprofesi sebagai preman. \"Kita bukan lepas tangan, Polri mengajak untuk sama-sama. Premanisme ini masalah yang kompleks,\" kata jenderal bintang satu itu. Secara terpisah, keluarga empat korban serangan anggota Kopassus di Lapas Cebongan Sleman mengadu ke Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). \"Adik saya mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Adi Sucipto, Jogjakarta, semester 6. Jadi bukan preman,\" kata Johanis Lado, kakak dari korban Adrianus Candra Galaja. Johanis menjelaskan, stigmatisasi preman pada keluarga korban sangat menyakitkan. \"Bahkan diucapkan oleh presiden. Ini membuat hati kami terluka. Sudah kehilangan anggota keluarga ditambah pula dengan ucapan-ucapan seperti itu,\" katanya. Victor Mambait, kakak Johanis Juan menegaskan, adiknya merupakan anggota kepolisian. \"Juan adalah anggota Polri yang bertugas di Jogja. Dia pernah bertugas di Aceh pada 2001 hingga 2003. Atas tugas itu, dia dapat kenaikan pangkat satu periode lebih cepat, dari briptu ke bripka,\" katanya. Victor menjelaskan, adiknya bahkan punya beragam penghargaan. Misalnya, satya lencana seroja, satya lencana rencong, satya lencana nusabakti. \"Mana ada preman diberi tanda kehormatan dari negara? Adik saya itu aparat negara,\" katanya. Kakak korban lain, Gamaliel, Yanny Rohi Riwu mengaku, adiknya adalah seeorang panjaga keamanan di salah satu spa di Jogjakarta. \"Petugas keamanan itu bukan preman,\" katanya. Adiknya pernah bekerja di TransJogja, lalu ke Graha Spa. Keluarga Hendrik juga membantah adiknya preman. \"Dia bekerja sebagai pengawal pribadi keluarga kerajaan Pakualaman,\" kata Jorhans Kardja, kakaknya. Hendrik diakui sebagai pengawal KPH Anglingkusumo. Victor menuding polisi dan TNI tidak transparan dalam kasus Cebongan. \"Ungkap secara total kasus pembunuhan di Hugos cafe. Nanti akan terlihat adik-adik kami tidak bersalah,\" katanya. (rdl/fth)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: