Media Asing Ungkap Rekaman CVR Lion Air JT-610
Detik-detik terakhir sebelum Lion Air PK-LQP jatuh di Laut Jawa pada 29 Oktober 2018 terungkap. Menurut laporan yang dilansir Reuters, Rabu (20/3/2019) berjudul Exclusive: Lion Air pilots scoured handbook in minutes before crash - sources. Disebutkan, sang pilot dan Lion Air jenis Boeing 737 Max 8 yang melayani penerbangan JT 610 digambarkan bersusah payah mencari informasi dari buku panduan setelah pesawat jet yang mereka kendalikan tiba-tiba menukik ke bawah. Hal itu disampaikan oleh tiga orang sumber anonim yang mengetahui isi cockpit voice recorder (CVR) kepada kantor berita Reuters. Ini adalah pertama kalinya isi CVR terungkap ke publik. Reuters sendiri tidak memiliki rekaman maupun transkrip dari isi CVR tersebut. Berdasarkan hasil investigasi kecelakaan yang dilansir Reuters, pilot dan kopilot sempat panik mencari solusi ketika pesawat mengalami gangguan. Menurut tiga sumber Reuters yang mengetahui isi rekaman suara kokpit pesawat itu, tak banyak yang bisa dilakukan pilot dan kopilot. Mereka akhirnya kehabisan waktu dan pesawat tersebut seketika terempas ke dalam lautan. Ini adalah pertama kalinya isi rekaman suara dari pesawat Lion Air yang nahas tersebut diperdengarkan. Investigasi ini dilakukan setelah otoritas penerbangan Amerika Serikat (AS) Federal Aviation Administration (FAA) dan regulator lain menghentikan operasional model pesawat Boeing 737 Max 8 pasca-kecelakaan di Ethiopia pada 10 Maret 2019. Kecelakaan Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET 302 terjadi hanya berselang sekitar lima bulan setelah pesawat Lion Air dengan tipe sama jatuh di perairan Laut Jawa. Penyelidik tengah mencermati sejumlah faktor dua kecelakaan itu, seperti bagaimana komputer memerintahkan pesawat untuk menukik sebagai respons terhadap data dari sensor yang salah dan apakah pilot memiliki cukup pelatihan untuk menanggapi keadaan darurat dengan tepat. Menurut laporan awal yang dirilis pada November 2018, kapten pilot Lion Airmemegang kendali penerbangan Lion Air JT 610 ketika pesawat itu lepas landas dari Jakarta, sedangkan kopilot pesawat bertugas menangani radio. Hanya dua menit setelah lepas landas, kopilot melaporkan masalah kontrol penerbangan kepada air traffic control (ATC) dan mengutarakan bahwa pilot bermaksud mempertahankan ketinggian di 5.000 kaki. Kopilot tidak memerinci permasalahan yang dialami, tetapi menurut seorang sumber, rekaman suara kokpit menyebutkan kecepatan udara. Sementara itu, sumber kedua mengatakan indikator menunjukkan adanya masalah pada layar kapten, bukan pada layar kopilot. Kapten pun meminta kopilot untuk memeriksa buku panduan referensi cepat, yang berisikan daftar peristiwa-peristiwa abnormal, seperti dituturkan sumber pertama. Selama sembilan menit berikutnya, pesawat itu memperingatkan sang pilot adanya kondisi stall dan otomatis meresponsnya dengan mendorong bagian hidung pesawat ke bawah. Kondisi stall terjadi ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuatnya tetap terbang. Sang kapten, menurut sumber yang sama, berjuang keras untuk menaikkan pesawat. Namun komputer yang masih salah merasakan kondisi stall, terus menekan hidungnya menggunakan sistem trim pesawat. Normalnya, sistem trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar. “Mereka tampaknya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Hanya itu yang mereka bicarakan,” ungkap sumber ketiga. Ketiga sumber menuturkan pilot Lion Air penerbangan JT 610 terdengar tetap tenang selama sebagian besar penerbangan. Sang pilot kemudian meminta kopilot untuk menerbangkan pesawat sementara dia memeriksakan manual untuk mencari solusi permasalan. Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui. Saat kapten mencoba untuk menemukan prosedur yang tepat dalam buku panduan, kopilot pesawat digambarkan tidak mampu mengendalikan pesawat itu. Rekaman data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir dari kopilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh kapten pilot. “Ini seperti ujian ketikaada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75. Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time out,” terang sumber ketiga, sebagaimana diberitakan Reuters. Kapten kelahiran India itu pada akhirnya terdengar terdiam, sementara kopilot asal Indonesia menyerukan Allahu Akbar. Yang terjadi sesudahnya tragis. Pesawat itu menghantam perairan laut dan menewaskan 189 orang di dalamnya. Badan investigasi kecelakaan udara Prancis, BEA, pada Selasa (19/3/2019) mengatakan, rekaman data penerbangan dalam kecelakaan Ethiopian Airlinespertengahan Maret ini yang menewaskan 157 orang menunjukkan kesamaan yang jelas dengan bencana Lion Air. Sementara itu, Boeing Co. menolak memberikan komentarnya karena investigasi masih tengah berlangsung. Produsen pesawat asal AS itu mengatakan ada prosedur untuk menangani situasi tersebut. Menurut laporan pada November, sebagaimana dikutip Reuters, kru yang mengendalikan pesawat yang sama pada malam sebelum kecelakaan pada 29 Oktober mengalami masalah yang sama, tetapi mampu menyelesaikannya. Mereka tidak menyampaikan informasi tentang masalah yang mereka alami kepada awak pesawat berikutnya. Sejak tragedi Lion Air, Boeing sebenarnya telah mengupayakan peningkatan perangkat lunak untuk mengubah seberapa banyak otoritas yang diberikan kepada Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, atau MCAS, sistem anti-stall baru yang dikembangkan untuk 737 Max. Penyebab kecelakaan Lion Air belum ditentukan, tetapi laporan awal menyebutkan sejumlah faktor di antaranya sistem Boeing, sensor, serta prosedur pemeliharaan dan pelatihan maskapai penerbangan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: