Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI Lebih Awal di Cirebon Sebelum Jakarta

Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI Lebih Awal di Cirebon Sebelum Jakarta

CIREBON-Proklamasi Kemerdekaan RI di Cirebon bukan kebetulan, juga bukan karena kabar pembatalan yang telat sampai ke telinga dr Soedarsono. Tidak sesederhana itu. Cikal bakalnya sudah bermula sejak tahun 1932. Syahrir adalah tokoh utama di balik itu semua. Tugu Proklamasi atau Tugu Kedjaksan yang berada di persimpangan Jl Siliwangi dan Jl Kartini Kota Cirebon, menjadi saksi peristiwa tersebut. Tugu yang dikenal dengan Tugu Pensil itu, dibangun pada tanggal 17 Agustus 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut. Sutan Syahrir adalah figur sentral di balik peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI di Cirebon. Seperti diketahui, Syahrir pernah mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1932. Lewat organisasi itu, ia membangun kaderisasi bawah tanah di sejumlah wilayah seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang dan Cirebon. PNI berisi orang-orang intelektual. Ucu Aditya Gana, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, yang keterangannya dikutip koran ini dari buku, Syahrir: Peran Besar Bung Kecil, menyebutkan bahwa Syahrir menggunakan pola pengkaderan. Namun organisasi ini tidak lama bertahan. Tahun 1934 dibubarkan polisi. Syahrir kemudian diasingkan ke Boven Digul, Papua. Sepulang dari pengasingannya, Bung Kecil –julukan Syahrir- berkelana dan berhubungan dengan kawan-kawannya para kader Pendidikan Nasional Indonesia. Di antara para kader itu ialah, Rusni di Priangan, Soedarsono, Sugra dan Sukanda di Cirebon. Wiyono dan Sugiono Yosodiningrat di Jogjakarta dan Djohan Sjahruzah di Surabaya. Sebagai motor gerakan bawah tanah, Syahrir aktif menggelar diskusi. Peserta tetapnya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Mr Soejitno, Ali Boediardjo, Zaenal Abidin Hamdani, dr Toha, dan dr Soedarsono yang kelak membacakan Proklamasi 15 Agustus di Kota Cirebon. Dalam pertemuan-pertemuannya, Syahrir juga sempat berdiskusi dengan Jacques de Kadt. Seorang politikus Belanda yang terjebak di Bandung selama Perang Dunia II. Syahrir menemuinya karena pernah mendengar De Kadt juga mengorganisasi gerakan bawah tanah anti Jepang. Anggotanya pemuda Belanda dan Indo-Belanda. Syahrir membutuhkannya untuk memperluas jaringan melawan penjajahan Jepang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: