Puasa Mutih

Puasa Mutih

SAYA lupa kapan pertama menulis tentang Corona. Yang saya tidak lupa: ada pembaca yang sampai protes --kok topiknya Corona terus.Waktu itu dikira Corona itu hanya urusan Tiongkok. Padahal saya ingin memberi sinyal agar kita siap-siap lebih awal.

Belakangan saya terus menulis tentang Corona. Tidak ada lagi yang keberatan. Dari semua komentar yang saya baca --termasuk komentar yang pesimistis belum tentu saya membacanya-- tidak ada yang mengeluh.

Meski begitu ada baiknya diselingi juga yang tentang bukan Corona. Seperti yang hari ini:Saya selalu kagum dengannya. Sejak ia masih menjadi cleaning service. Badannya tinggi, 172 cm, pendiam, selalu nurut, tidak pernah mengeluh, disuruh apa saja dilaksanakan.Ialah contoh seorang cleaning service yang akhirnya bisa jadi general manajer perusahaan office building.

Namanya Aminarto.“Saya minta pensiun dini tapi tidak boleh,” ujarnya.Saya masih sering bertemu Aminarto meski saya tidak lagi bos di grup perusahaan tempatnya bekerja. Ia rajin ikut senam dansa bersama saya. Sampai sekarang. Setiap pagi --kecuali Senin.

Meski sudah berjabatan general manager ia bersikap masih seperti jadi pesuruh dulu: ia yang membawa pengeras suara ke arena senam. Ia yang melayani para senior di grup itu.Tapi badannya tidak kurus lagi. Sudah hampir 90 kg. Hanya karena tinggi ia tidak terlihat tambun.

Tiba-tiba Aminarto tidak terlihat di area senam. Demikian juga istrinya - -yang selalu pakai jilbab. Tidak ada yang tahu ke mana suami-istri itu.Pun ketika grup kami ingin memecahkan rekor: memutar semua lagu yang kami punya. Kami ingin tahu: kami harus senam berapa lama kalau semua lagu diputar.

Aminarto tidak kelihatan.Kami sudah umumkan, siapa pun boleh berhenti senam di tengah jalan. Jangan ada yang merasa malu. Hanya yang benar-benar kuat yang boleh senam-dansa sampai semua lagu habis diputar.Di antara 60-an anggota ternyata hampir separo yang kuat sampai akhir --saya termasuk di dalamnya. Total waktunya ternyata 3 jam lebih. Nonstop.

Minggu depannya barulah Aminarto muncul. Kurus sekali. Seperti habis sakit.“Berat badan saya turun 17 kg,” ujarnya.“Sakit apa?” tanya saya.“Tidak sakit,” jawabnya.Ia pun melirik istrinya. Seperti minta agar istrinya saja yang menjawab.“Kami habis nglakoni,” ujar sang istri.

Sebagai orang Jawa saya pun segera tahu: apa itu nglakoni. Pasangan ini baru saja menjalani hidup tirakat cara Jawa. Tapi tirakat jenis apa? Puasa mutih? Ngrowot? Mendem? Atau apa?“Kami baru selesai menjalani puasa mutih,” katanyi.

“Berapa lama?” tanya saya.“40 hari,” jawabnyi.Ups... Makanya lama tidak terlihat.Ups... Makanya kurus sekali.Berarti selama 40 hari Aminarto dan suami tidak makan apa pun kecuali nasi putih atau ketela pohon. Tanpa lauk. Tanpa rasa. Tanpa apa pun.

“Kami pilih yang hanya makan singkong,” ujar Aminarto. Itu pun tidak boleh digoreng atau dibakar. Hanya boleh dikukus.Seberapa banyak singkong yang mereka makan setiap hari?“Sehari dua potong,” katanya.

Mula-mula bisa empat potong. Tapi setelah beberapa hari tidak bisa lagi sebanyak itu. Tenggorokannya tidak bisa lagi dilalui banyak singkong. Dua minggu terakhir hanya bisa makan dua potong itu.

Tapi boleh banyak minum. Hanya saja hanya boleh minum air putih. Tidak ada batas. “Awalnya saya bisa minum hampir dua liter,” ujar Aminarto. Lama-lama kemampuan itu berkurang sendiri. “Akhirnya tidak kuat lagi banyak minum,” tambahnya.

Dua minggu terakhir ia hanya bisa minum sedikit-sedikit. Total sehari sekitar setengah liter. “Lebih dari itu seperti ada penolakan dari dalam,” katanya.Sepuluh hari pertama Aminarto dan istri masih bisa ikut senam. Masih bisa satu jam penuh nonstop. Mereka tidak pernah bercerita kalau lagi nglakoni mutih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: