Kaya Semarang

Kaya Semarang

Di antara tanggal dua ulang tahun tersebut masih ada satu acara lain: arisan. Mereka kumpul di salah satu restoran milik anggota arisan itu. Juga suami istri. Banyak juga yang melanjutkan acara itu dengan karaoke. Kebetulan ada ruang karaoke di lantai atasnya. Semua orang bergembira. Bahagia. Saat itu.

Lalu…. Semua orang menjadi sangat sedih. Terutama di perkumpulan itu. Mereka juga panik. Tentu juga ada yang depresi: bagaimana orang begitu kaya harus opname di kelas 3. Itu karena apa boleh buat. Tidak ada lagi kamar kelas 2. Apa lagi kelas 1. Lebih lagi VIP. Orang yang terkaya di antara empat itu harus meninggal di kelas 3 itu juga.

Ia tidak sendirian. Salah satu wanita di perkumpulan itu juga meninggal di kelas 3 yang sama. Dia janda. Sudah agak tua. Anak sulungnya yang satu rumah pun tidak boleh menengoknyi. Demikian juga tiga anak lainnya. Ketika wanita tersebut meninggal si anak hanya bisa menyerahkan sepenuhnya jasad ibunya itu ke rumah sakit. Untuk dikuburkan oleh pihak rumah sakit. Tanpa kehadiran siapa pun.

Anak-anaknyi itu tentu menangis. Amat sedih. Bagaimana bisa ibunya sakit keras tanpa bisa menungguinyi. Dan ketika meninggal tidak bisa di sampingnyi. Bahkan ketika dimakamkan tidak bisa mengantar ke makamnyi.

Untungnyi sang ibu bisa dimakamkan di pemakaman Tionghoa di Ungaran. Anak-anaknyi yang memohon itu ke rumah sakit. Dengan mengganti seluruh biaya. Berapa pun. Sang anak bukan tidak mencintai sang ibu. Tapi tidak boleh. Pasien yang meninggal karena Covid-19 punya prosedur pemakaman sendiri.

Tapi sang anak juga takut tertular. Lalu harus masuk rumah sakit. Lebih-lebih mereka takut dengan sal kelas 3 itu. Kalau sampai ia datang ke rumah sakit berarti ia harus mengaku: ia tinggal serumah dengan almarhum. Berarti ODP. Ia membayangkan --yang sebenarnya salah-- begitu dinyatakan ODP harus masuk rumah sakit. Lalu tidak mendapat kamar yang bagus.

Ia harus masuk kelas tiga seperti yang lainnya. Lalu meninggal dunia. Bayangan itu membuat ia memutuskan: pilih di rumah saja. Tidak perlu muncul di RS. Biarlah ibunya diurus oleh pihak RS. Ia pun pilih mengarantina diri di rumah. Bersama istri, anak, dan pembantu. Total ada 6 orang di rumah itu. Para tetangga sangat baik. Mau membantu. Mereka menyiapkan semua keperluan yang lagi isolasi. Dengan cara menyiapkan makanan yang diminta.

Setiap waktu makan tiba sang tetangga meletakkan makanan di depan rumah. Begitu si tetangga pergi ia ambil makanan itu. Tidak hanya makanan. Apa pun bisa disiapkan tetangga. Vitamin, buah, dan segala macam keperluan.

Hari Senin ini adalah hari ke 13 mereka lockdown mandiri. Semua baik-baik saja. Saya ikut mendoakan mereka agar berhasil melewati hari ke 14 dengan sehat. Ia tidak sendirian memutuskan cara seperti itu. Teman-teman lainnya --seperkumpulan-- juga melakukan hal yang sama.

Kini kian banyak yang pilih isolasi mandiri di rumah. Tidak hanya di Semarang. Di seluruh Indonesia. Sambil memperbaiki kondisi badan secara maksimal. Dengan cara makan sayur dan buah. Dan vitamin. Dan minum banyak air hangat. Dan itu bisa meringankan rumah sakit. Toh semua tahu: belum ada obatnya.

Orang kaya pun kini juga pusing. Hanya pusingnya memang berbeda dengan yang tidak punya uang. Coba lihat daftar persoalan orang kaya --dan orang miskin-- yang banyak beredar di medsos ini: Ups… Pusingnya beda. Hanya urutannya yang sama. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: