Masjid Tua dan Bersejarah di Cirebon: Al Banyamin tanpa Pengeras Suara, Urus Izin sampai ke Ratu Belanda

Masjid Tua dan Bersejarah di Cirebon: Al Banyamin tanpa Pengeras Suara, Urus Izin sampai ke Ratu Belanda

Banyak masjid bersejarah di Cirebon sebagai bukti dan saksi sejarah penyebaran Islam. Meski bangunan sudah tua, tetap kokoh. Bahkan sampai hari ini masih dipakai untuk ibadah sehari-hari.

LAPORAN: AZIS MUHTAROM, Cirebon

SALAH satunya Masjid Al Banyamin. Atau disebut juga Masjid Tugu Dalem. Karena berdiri di Kampung Tugu Dalem, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Lokasinya tak jauh dari Bandara Cakrabuana atau Bandara Penggung.

Masjid dengan arsitektur klasik tersebut hingga kini tetap mempertahankan tradisi tanpa pengeras suara. Tradisi ini dipertahankan sejak zaman penjajahan Belanda. Masjid Al Banyamin didirikan oleh KH Banyamin, seorang ulama yang hidup pada masa penjajahan Belanda.

Nur Azizah, pengurus yayasan pengelola masjid tersebut menceritakan sejarah berdirinya masjid ini. Nur Azizah menjelaskan, KH Banyamin merupakan salah satu ulama dan diklaim memiliki trah Syekh Syarif Hidayatullah.

Ulama pada waktu itu dimusuhi oleh penjajah. Karena misinya mencerdaskan kehidupan umat melalui ilmu agama.

Apalagi, di dalam syiarnya terkandung bab siyasah (politik). Bab siyasah ini yang dikhawatirkan bisa membangkitkan semangat perjuangan rakyat dan bakal mengganggu kekuasaan penjajah dalam mengekang rakyat pribumi.

KH Banyamin saat hendak mendirikan masjid pun sempat menemui jalan terjal. Sebab mesti meminta izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Kerajaan Belanda yang saat itu dipimpin Ratu Wilhemina. Pimpinan penjajah di Karesidenan Cirebon pada waktu itu bahkan menentang habis-habisan upaya pendirian masjid.

Hingga akhirnya pada tahun 1914 masjid tersebut dapat dibangun. Walaupun pengakuan pihak Belanda setengah hati. Sehingga waktu itu tetap mengekang rakyat di sekitar wilayah Tugu Dalem.

Saat ini, masjid tersebut sudah beberapa kali dilakukan pemugaran. Bangunan aslinya hanya seluas 8x8 meter. Dengan atap momolo berbentuk kerucut berprofilkan stupa layaknya masjid-masjid lama yang dibangun di tatar Jawa.

Sedangkan alas lantai tegel yang masih tersisa hingga saat ini menjadi ciri khas bangunan tua zaman dahulu.

Saat ini bangunan masjid telah mengalami perluasan. Teras masjid diperluas hingga bisa menampung jamaah lebih banyak. Pemugaran masjid terakhir kali dilakukan pada tahun 1980-an.

Beberapa benda peninggalan lama seperti bedug dan mimbar, telah diganti yang baru, namun benda-benda lamanya terebut masih tersimpan di dekat masjid. Hingga saat ini masjid itu masih mempertahankan tradisi tak menggunakan pengeras suara.

“Dari dulunya seperti itu, kata mbah saya. Jadi sampai sekarang kita tetap menuruti apa yang sudah diawali para pendiri masjid ini,” ungkap Nur Azizah, kemarin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: