Makan Bersama

Makan Bersama

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama --khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah --di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama --di lantai bawah. Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif. Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif. Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega. Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah --karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat: karantina saja.

Waktu itu tes juga belum semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan, kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal --normal baru.

Tiap pagi tetap olahraga --olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak. Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6 sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: