Nyaman Banar

Nyaman Banar

Di sujud kedua, saya doakan mereka agar diberi kehidupan yang baik. Perusahaan-perusahaan itu. Juga perusahaan anak-anak saya. Termasuk Persebaya, DBL, Wednesday, dan real estate-nya.

Saya ingat ketika menjadi jamaah salat tarawih di lingkungan Hidayatullah. Yang sujudnya juga lama dan sangat lama. Bisa untuk membaca istighfar 45 kali.

Jamaah yang hadir di halaman kemarin tampak sepenuhnya memperhatikan khotbah. Itu karena isi khotbah menyangkut ”what it mean to me”.

Banyak khotbah yang isinya ”what it mean to us”. Unsur ”me”-nya sangat langka. Karena itu khotbah menjadi kurang menarik. Banyak jamaah salat hari raya yang tidak mau mendengarkan khotbah. Mereka langsung bubar begitu salat selesai.

Merumuskan tema khotbah memang tidak mudah. Itu karena pengkhotbah tidak mau tahu siapa pendengar khotbahnya. Juga tidak melakukan penelitian atas jemaah yang hadir hari itu. Tidak mencari tahu apa saja problem mereka. Apa yang mereka inginkan. Pengkhotbah umumnya tidak peduli --pokoknya khotbah.

Ternyata khotbah di lingkungan kecil lebih menarik. Bisa lebih konkret. Hanya saja sering tidak memuaskan --bagi yang bangga kalau khotbahnya didengarkan ribuan umat.

Sampai saya selesai menceritakan soal tarawih itu khotbah baru berlangsung tiga menit. Maka saya tambah dua menit lagi --untuk membacakan puisi: yang saya tulis malam sebelumnya.

Inilah puisi itu:

Bumi gonjang-gonjang
Bertumbang gelimpangan
Aneh
Langit tersenyum jenaka
Melihat bumi membersihkan dosa
Dengan cleaning service bergaji rendah
Dengan sapu tergerak malas
Langit tiba-tiba murka dalam diam
Petir menyambar-nyambar dengan kelu
Badai badai badai dalam bisu
Bumi menyisakan dosa
Sebintang kali sejuta
Virus mencep kelelahan
Corona geleng kepala
Langit tersenyum kecut
Cleaning service terkulai
Sapu terberai
Bumi gonjang-ganjing
Menatap langit dengan iba
Walillahi alham

Genaplah khotbah itu lima menit. Doa di khotbah keduanya pendek saja.

Kami pun mengakhiri acara hari itu dengan sungkeman. Mula-mula para istri sungkem ke suami mereka. Untuk minta maaf. Lalu cucu-cucu ke kakek-nenek dan ke orang tua mereka.

Lalu gantian.

Para suami sungkem ke para istri. Jelas: para suami pun banyak juga berdosa kepada istri.

Lahir batin.

Skornya menjadi 0-0.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: