Pilkada Serentak 2020, KPK Larang Petahana Memoles Diri Pakai Dana Bansos
JAKARTA – Pilkada Serentak akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Ada 270 daerah yang menggelar pilkada. Potensi penyelewengan dinilai cukup besar. Baik oleh kepala daerah maupun calon petahana. Terutama di masa pandemi COVID-19. Mereka dilarang memoles diri dengan mendompleng dana bantuan negara.
“Saya ingatkan, jangan main-main. Ini menjadi perhatian KPK. Terlebih dana penanganan COVID -19 sebesar Rp695,2 triliun dari APBN maupun APBD. Ini adalah uang rakyat yang harus jelas peruntukannya dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya,” tegas Ketua KPK Firli Bahuri di Jakarta, Sabtu (11/7).
Menurut Firli, penyalahgunaan dapat bisa dilihat dari besar kecilnya permintaan anggaran penanganan COVID-19, di daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak. Sebab, ada beberapa kepala daerah yang berkepentingan untuk maju. Selain itu, KPK juga melihat pengajuan alokasi anggaran COVID -19 yang cukup tinggi. Padahal kasus di wilayahnya sedikit.
“Sebaliknya, ada pula kepala daerah yang mengajukan anggaran rendah. Padahal faktanya kasus di wilayah tersebut terbilang tinggi. Ini terjadi karena kepala daerah itu sudah memimpin dua periode. Sehingga tidak berkepentingan lagi untuk maju di Pilkada Serentak,” imbuhnya.
Dia meminta apabila ada masyarakat yang mengetahui ada penyelewengan, bisa melapor langsung ke KPK. Baik dugaan penyelewengan yang dilakukan aparatur pemerintahan di pusat maupun di daerah.
Beberapa laporan masyarakat yang masuk ke KPK, lanjutnya, sudah ditindaklanjuti. “Saya ingatkan kepada calon atau siapapun yang berpikir atau coba-coba korupsi anggaran penanganan COVID-19. Hukuman mati menanti. Ini hanya soal waktu bagi kami untuk mengungkap semua itu,” papar mantan Kapolda Sumsel ini.
Selain itu, Firli juga meminta KPU dan Bawaslu memberi sanksi para petahana yang menggunakan program penanganan pandemi COVID-19 untuk pencitraan diri jelang pilkada.
“Diperlukan kehadiran penyelenggara pemilu. Sejak dini untuk mengingatkan dan memberi sanksi kepada para petahana yang menggunakan program penanganan pandemi COVID-19. Seperti bansos untuk pencitraan diri, yang marak terjadi jelang pilkada serentak,” ucapnya.
Sanksi tersebut bisa sampai pembatalan sebagai calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
KPK, kata Firli, menerima laporan sejumlah oknum kepala daerah yang mengambil kesempatan meningkatkan citra diri di hadapan masyarakat. Caranya memanfaatkan dana penanganan COVID-19 dari pemerintah pusat.
Bansos dijadikan sarana sosialisasi diri atau alat kampanye. Seperti memasang foto pada bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi. “Tidak sedikit informasi perihal oknum kepala daerah petahana yang hanya bermodal selembar stiker foto atau spanduk raksasa mendompleng bantuan sosial yang berasal dari uang negara. Bukan dari kantong pribadi mereka,” ungkapnya.
Selain tidak elok, kata Firli, hal itu telah mencederai niat baik dan kewajiban pemerintah membantu rakyat di masa pandemi. “Demokrasi yang sesungguhnya mesti menyediakan ruang adu program untuk meraih suara pemilih. Bukan memainkan segala cara meraih kemenangan. Saya imbau kepada kepala daerah yang kembali ikut kontestasi pilkada serentak Desember 2020, stop poles citra Anda dengan dana penanganan COVID-19,” tandasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Bawaslu RI, Abhan. Dia mengingatkan kepala daerah yang kembali mencalonkan diri pada Pilkada serentak untuk tidak mempolitisir pemberian bantuan selama masa pandemi COVID-19. “Pilkada di masa pandemi COVID-19 ini berpotensi terjadi pelanggaran bagi petahana yang memanfaatkan kondisi bagi-bagi bantuan,” kata Abhan.
Selama masa pandemi COVID-19, semua pemerintah dari provinsi hingga kabupaten/kota menyalurkan bansos. Hal ini dinilai rentan dipolitisir oleh para kepala daerah untuk menyalahgunakan kekuasaan. Terutama yang ingin kembali maju dalam Pilkada 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: