Dari uraian di atas, para ulama fiqih berpendapat bahwa akad pernikahan yang sah langsung menetapkan status mahram kecuali anak tiri perempuan.
Anak tiri perempuan dapat menjadi mahram setelah terjadi hubungan badan antara laki-laki yang menikahi ibunya dan ibunya sebagaimana petikan berikut:
فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ وَفُرُوعُهَا وَإِنْ نَزَلَتْ فَإِنَّهُنَّ لاَ يَحْرُمْنَ إِلاَّ بِالدُّخُول بِالزَّوْجَةِ
Artinya, “Para ulama fiqih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri atau anak tiri serta anak-cucunya, meski terus ke bawah. Mereka tidak menjadi mahram kecuali setelah hubungan badan dengan istrinya (maksud istri di sini adalah ibu dari anak tiri).” (Lihat Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXVII, halaman 368).
Dalam kaitan ini, Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni mengungkap alasan mengapa ibu mertua langsung menjadi marham menantu laki-lakinya walaupun baru sekadar akad.
Sedangkan seorang anak perempuan tidak langsung menjadi mahram sampai ayah tirinya berhubungan badan dengan ibunya? Jawabannya, karena seorang laki-laki yang sudah menikah biasanya dituntut untuk berinteraksi dengan ibu mertuanya walaupun baru selesai akad.
Oleh karena itu, ibu mertua langsung menjadi mahram menantu laki-lakinya agar keduanya memungkinkan berkomunikasi lebih longgar. (Lihat Kifayatul Akhyar, jilid I, halaman 364).
Itulah empat baris yang menjadi mahram karena pernikahan.
Hanya saja tiga baris, yaitu mertua, menantu, dan ibu tiri, langsung menjadi mahram walaupun baru sekadar akad.
Sedangkan yang satu, yaitu anak tiri perempuan, menjadi mahram setelah terjadi hubungan badan dengan ibu tirinya.
Mahram dimaksud tentunya adalah mahram mu’abbad atau mahram permanen.
Adapun pihak-pihak yang tidak menjadi mahram walaupun terjadi perkawinan disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya sebagai berikut:
لَا تَحْرُمُ بِنْتُ زَوْجِ الْأُمِّ، وَلَا أُمُّهُ، وَلَا بِنْتُ زَوْجِ الْبِنْتِ، وَلَا أُمُّهُ، وَلَا أُمُّ زَوْجَةِ الْأَبِ، وَلَا بِنْتُهَا، وَلَا أُمُّ زَوْجَةِ الِابْنِ، وَلَا بِنْتُهَا، وَلَا زَوْجَةُ الرَّبِيبِ وَلَا زَوْجَةُ الرَّابِّ
Artinya,
“Tidak haram (bagi seorang laki-laki untuk menikahi (1) putri dari suami ibunya, (2) ibu dari suami ibunya, (3) putri dari suami anak perempuannya, (4) ibu dari suami anak perempuannya, (5) ibu dari istri ayah, (6) putri dari istri ayah, (7) ibu dari istri anak, (8) putri dari istri anak, (9) istri dari anak tiri laki-lakinya, dan tidak pula (diharamkan untuk menikahi) (10) istri dari ayah tirinya. (Lihat An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, jilid VII, halaman 112).
Berdasar petikan di atas, kita dapat merinci siapa saja yang tidak menjadi mahram karena perkawinan yaitu: – putri dari ayah tiri atau saudara tiri;