Mahfuz menegaskan, gugus tugas tersebut diperlukan, karena regulasi yang mengatur dunia digital saat ini sudah tertinggal 10 tahun.
Dunia digital ini sudah berjalan dan terus merangsek ke semua aspek kehidupan. Termasuk dalam kehidupan politik dalam 10 tahun terakhir secara sangat progresif.
BACA JUGA:5 Khasiat Kapulaga yang Tak Terduga, Nomor 5 Sangat Membantu Pengobatan Alami Ginjal
BACA JUGA:Obat Batu Ginjal Alami dan 7 Manfaat Air Rebusan Jagung untuk Pengobatan Penyakit Kronis
Mantan Ketua Komisi I DPR RI ini pun berpandangan, bahwa regulasi penyiaran Indonesia tidak mampu lagi menjangkau penyebaran-penyebaran hoaks yang dilakukan oleh televisi berbasis internet.
"Sekarang ini banyak TV-TV yang platformnya internet. Ketika dia menyebarkan hoaks, siapa stakholder atau pemangku kepentingan yang bisa menegakkan regulasi, apakah Dewan Pers atau KPI, kan nggak ada sekarang," ujar Mahfuz
Akibat regulasi penyiaran yang tertinggal 10 tahun itu, kata Mahfuz, membuat banyaknya sampah-sampah digital, yang bisa 'digoreng' menjadi isu hoaks dan ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
"Ini sekarang yang menjadi rumit dan menjadi ruwet, karena memang basis regulasinya yang memang tidak lengkap," katanya.
Dengan banyak hoaks dan ujaran kevencian bertebaran di dunia maya, menurut Mahfuz, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara akan kesulitan untuk melaksanakan pesta demokrasi ini secara riang gembira.
"Apalagi kalau lihat diksi tentang pemilu sekarang yang telah bergeser dari pesta menjadi kompetisi atau kontestasi. Jadi dua kata diksi ini, yang selalu akrab di telinga kita saat ini," katanya.
Menurutnya, diksi 'kompetisi' dan 'kontestasi' menjadi persepsi besar tentang pemilu, maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi itu, akan berlangsung di lapangan.
"Apa faktornya, menurut saya, adalah adanya power struggle (perebutan kekuasaan) yang ikut pertarungan kekuasaan di Pilpres 2024. Bobot pertarungannya akan semakin sengit, apabila dari satu kekuatan politik itu, adu power strategi. Misalnya kalau saya baca di media ada pertarungan antara Ibu Megawati dan Pak Jokowi," ungkapnya.
Pertarungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo ini, katanya, merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.
"Pertarungan tersebut semakin keras dalam ruang digital, maka rasanya serangan pertarungan di dunia digital ini, menjadi tidak bisa terelakan," tandasnya.
Karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaksi selama Periode Januari 2023 hingga Oktober 2024 seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.
"Saya prediksi pertarungan cyber melalui hoaks, ujaran kebencian akan terjadi lompatan yang sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira disinilah pentingya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, resiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi," katanya.