Hal itu dilakukannya lantaran, debit air dari sungai sudah mulai berkurang dan nyaris kering.
BACA JUGA:1 Unit Sepeda Motor Hangus Terbakar di Sebrang RS Ciremai Cirebon
BACA JUGA:Sahabat Imron Satukan Masyarakat Dalam Semangat Kemerdekaan
"Selama ini juga ada beberapa yang karena sudah terpaksa tanam, jadi mereka berusaha meskipun hanya untuk 2 hari 3 hari saja narik air, karena deber air dari sungai juga sudah berkurang. Ada beberapa petani bilang, bagaimanapun caranya, berapapun habisnya, yang penting bisa panen, tapi ya, bisa kita lihat sendiri," tuturnya.
Dari 8 hektar sawah yang terimbas, 3 hektar diklaim sudah tidak bisa digarap kembali.
"Semua disini kena imbas kekeringan, bahkan yang 3 hektar mah sudah berubah jadi tanah kebun sepertinya, gabisa digarap lagi, retak luar biasa. Kalau tanah sawah sudah retak, paling sulit ngairin sawah," tambahnya.
Dirinya mengklaim, kondisi sawah kekeringan di desa Singkup memang ruti terjadi setiap tahun. Namun, pada tahun ini dapat dikatakan paling parah dibanding tahun tahun sebelumnya.
"Memang setiap tahun, tapi tahun ini paling parah. Memang sangat sulit sekali air, memang memerlukan sekali bantuan dari pemerintah. Penyediaan air atau pengeboran dan lain sebagainya," tutupnya.
Sementara itu, salah seorang petani setempat, Yani, mengaku sudah mulai putus asa dengan kondisi sawahnya yang sudah retak dan padi mengering.
"Jadi setengah putus asa, air ga ada. Ya gada mata air, kalau itu, susah nyari air. Ya udah dari awal udah ga ada air, kalau kata orang Sunda mh, hampa ini padinya," katanya.
Biasanya, disatu setengah hektar sawahnya, biasa menghasilkan 3 ton gabah. Namun, dengan kondisi kekeringan yang melanda tahun ini, Yani masih berharap masih ada hasil panen paksa walaupun belum tentu sampai setengah dari biasanya.
"Tahun ini kemungkinan gagal panen. Saya punya ada satu hektar setengah, biasanya paling sekitar 3 ton setengah, kalau kaya gini mah, setengahnya juga kali, mudah mudahan," pungkasnya. (*)