Namun, penjelasan ilmiah menunjukkan arah yang berbeda. Berbeda dari ‘Oumuamua, 3I/ATLAS menampilkan tanda-tanda yang jelas dan terukur sebagai komet aktif. Pengamatan fotometrik dari berbagai teleskop menunjukkan bahwa citranya memiliki koma, yaitu selubung gas dan debu yang mengelilingi inti padat yang secara optik lebih lebar daripada bintang di latar belakang. Secara teknis, hal ini terlihat dari perbedaan lebar setengah maksimum (Full Width at Half Maximum, FWHM) antara citra 3I/ATLAS dan bintang, bahwa FWHM objek lebih besar, bukti kuat adanya aktivitas komet yang sedang berlangsung. Fenomena ini tidak bisa dijelaskan oleh permukaan logam halus seperti yang diandaikan pada “layar surya buatan”, melainkan oleh proses sublimasi es, yaitu penguapan langsung dari fase padat ke gas ketika objek mendekati Matahari.
Adapun data fotometri menunjukkan adanya produksi debu nyata, dengan nilai parameter A(0°)fρ berkisar antara 200 hingga 300 cm, adapun angka yang konsisten dengan komet aktif di tata surya bagian luar. Warna spektralnya juga memberi petunjuk penting, bahwa 3I/ATLAS memiliki rona merah gelap khas benda organik beku, mirip dengan komet tua dan asteroid tipe D, yang mengindikasikan keberadaan senyawa karbon kompleks di permukaannya. Ini sangat berbeda dengan refleksi cahaya dari logam atau material buatan, yang akan memunculkan spektrum datar atau cenderung netral.
Tidak ada bukti percepatan non-gravitasi yang tidak wajar, yakni perubahan lintasan yang tidak bisa dijelaskan oleh pelepasan gas atau efek radiasi Matahari. Perilaku orbit 3I/ATLAS sepenuhnya dapat dijelaskan oleh mekanika klasik Newton tanpa perlu asumsi adanya penggerak buatan atau teknologi canggih.
Dari semua data tersebut, kesimpulan ilmiahnya tegas bahwa 3I/ATLAS adalah komet alami, bukan mesin antar bintang. Kecerahannya yang tampak besar hanyalah efek dari pantulan debu dan gas yang disemburkan oleh sublimasi es di permukaannya. Fenomena ini lazim terjadi pada komet yang mendekati Matahari dan tidak membutuhkan skenario luar biasa. Dalam konteks ini, prinsip “Occam’s Razor” kembali berlaku, bahwa ketika hukum fisika sederhana sudah cukup menjelaskan suatu fenomena, hipotesis alien menjadi tidak diperlukan.
Analisis Teoretis
Secara teoretis, keberadaan objek antarbintang seperti 3I/ATLAS dapat dijelaskan melalui mekanisme fisika yang sepenuhnya alami tanpa harus melibatkan hipotesis tentang teknologi canggih dari peradaban lain. Simulasi numerik dalam bidang dinamika planet menunjukkan bahwa planet-planet raksasa di sistem ekstrasurya memiliki kemampuan untuk “mengusir” sejumlah besar benda kecil, seperti komet, asteroid, dan fragmen planetesimal ke luar dari sistem asalnya. Dalam jangka waktu jutaan tahun, interaksi gravitasi antara planet besar dan sisa material pembentukan planet menghasilkan lontaran triliunan objek kecil ke ruang antar bintang. Mempertimbangkan bahwa galaksi kita mengandung ratusan miliar bintang, bahkan jika setiap sistem hanya menyumbangkan sebagian kecil saja dari cadangan material padatnya, populasi objek antarbintang (Interstellar Objects, ISO) yang melayang di antara bintang-bintang menjadi konsekuensi kosmik yang hampir pasti terjadi.
Dalam hal ini, 3I/ATLAS bukanlah keanehan yang perlu penjelasan luar biasa, melainkan bagian dari distribusi kontinu benda-benda antar bintang yang kini mulai kita pahami. Ketika dibandingkan dengan dua pendahulunya yaitu 1I/‘Oumuamua dan 2I/Borisov, maka muncul pola evolusi yang menarik. ‘Oumuamua tampak tidak aktif, berperilaku seperti fragmen kering yang mungkin berasal dari asteroid atau pecahan komet yang sudah lama kehilangan unsur volatilnya.
Sebaliknya, 2I/Borisov menunjukkan aktivitas komet yang sangat kuat, dengan koma dan ekor yang menyerupai komet-komet aktif di Tata Surya. Sementara 3I/ATLAS menempati posisi di antara keduanya, bahwa ia menunjukkan aktivitas komet lemah, tetapi tidak sepenuhnya pasif. Warna permukaannya bahkan lebih merah daripada dua pendahulunya, menandakan adanya senyawa organik kompleks yang telah terpapar radiasi kosmik selama jutaan tahun perjalanan antarbintang.
Perbedaan dalam tingkat aktivitas, warna, dan kecepatan di antara ketiga objek ini masing-masing bergerak dengan kecepatan 26 km/s, 32 km/s, dan 58 km/s menunjukkan adanya kontinuum alami dalam sifat-sifat fisik ISO. Artinya, objek-objek ini kemungkinan berasal dari beragam lingkungan pembentukan planet di galaksi kita, namun tetap tunduk pada hukum fisika yang sama. Tidak ada indikasi bahwa salah satunya merupakan anomali buatan, bahwa justru, mereka membentuk spektrum yang konsisten dari material batuan dan es yang terlontar dari sistem bintang yang berbeda. Dalam kerangka astrofisika modern, 3I/ATLAS menjadi bukti kuat bahwa proses pembentukan dan pembuangan material planetesimal merupakan fenomena umum di alam semesta, yaitu menciptakan jembatan alami antara dunia-dunia yang pernah ada di bawah cahaya bintang yang jauh dan kunjungan singkat mereka ke lingkungan Tata Surya kita.
Perspektif Galaktik dan Asal Usul
Dari sudut pandang galaktik, lintasan 3I/ATLAS menyimpan kisah panjang tentang perjalanan sebuah benda kecil yang melintasi ruang antar bintang selama jutaan, mungkin miliaran tahun. Arah datangnya yang mengarah dari wilayah dekat pusat galaksi menunjukkan bahwa objek ini kemungkinan berasal dari kawasan yang sangat padat bintang, tempat lahirnya banyak sistem keplanetan muda. Di daerah seperti itu, interaksi gravitasi antar bintang sering kali begitu kuat sehingga dapat melemparkan planetesimal, yaitu batuan es dan debu yang menjadi bahan pembentuk planet yang keluar dari sistem asalnya dengan kecepatan luar biasa.
Dalam skenario ini, 3I/ATLAS mungkin terbentuk di cakram protoplanet di sekitar sebuah bintang muda, kemudian mengalami gangguan gravitasi dari bintang tetangga dalam kluster tempat ia lahir. Gangguan tersebut memberikan “tendangan” gravitasi yang cukup kuat untuk mengusirnya dari sistem asalnya dan mengirimkannya ke ruang antarbintang. Setelah itu, ia menjadi pengembara kosmik, melintasi jarak antarbintang yang sangat jauh hingga akhirnya kebetulan melintasi Tata Surya kita.
Kecepatan hiperboliknya yang tinggi, yaitu sekitar 58 km per detik, dan orbit retrograde ekstrem hampir 175 derajat terhadap bidang ekliptika tidak dapat dijelaskan oleh dinamika Tata Surya sendiri. Ciri-ciri ini justru konsisten dengan proses ejection multi-bintang, yaitu hasil interaksi gravitasi kompleks di lingkungan padat bintang. Dalam konteks tersebut, orbit retrograde bukanlah anomali, melainkan konsekuensi alami dari arah acak hasil pelontaran benda yang telah kehilangan keterikatan gravitasi pada bintang asalnya.
Sehingga 3I/ATLAS bukanlah benda yang “datang dengan tujuan” atau dikendalikan oleh entitas cerdas, melainkan saksi bisu dari kekacauan kreatif di wilayah pembentukan planet jauh di pusat galaksi. Ia membawa jejak material dari sistem keplanetan asing, menjadi duta kosmik yang secara kebetulan melintasi orbit Bumi, yaitu sebuah fragmen kecil dari proses besar pembentukan dunia-dunia lain di seluruh Bima Sakti.
Kesimpulan dan Langkah Selanjutnya?
Kesimpulan dari berbagai pengamatan dan analisis teoretis terhadap 3I/ATLAS menegaskan bahwa objek ini bukanlah artefak buatan atau teknologi dari peradaban asing, melainkan komet kecil antarbintang yang aktif secara alami. Kecerahan yang diamati bukan berasal dari refleksi permukaan logam atau bahan artifisial, melainkan dari aktivitas gas dan debu yang terlepas ketika permukaannya dipanaskan oleh radiasi Matahari. Fenomena ini sepenuhnya sejalan dengan proses fisika yang sudah dikenal dalam studi komet di Tata Surya.