Ekonomi Terdorong Penguatan Rupiah

Minggu 11-10-2015,17:44 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Pilkada Serentak Diperkirakan Sumbang Rp26 T JAKARTA - Penguatan tajam rupiah saat ini memantikkan secercah optimisme pada perekonomian Indonesia. Selain faktor eksternal, penguatan ekonomi juga diyakini mencerminkan perbaikan ekonomi di dalam negeri. Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, banyak faktor yang bisa melahirkan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi semester II 2015 ini akan lebih baik dibanding semester I 2015. \'\'Salah satunya tren kenaikan harga komoditas,\'\' ujarnya kemarin (10/10). Menurut Ryan, tren naiknya harga komoditas pertambangan maupun perkebunan merupakan refleksi kenaikan di pasar global. Meskipun, lanjut dia, harus diwaspadai juga jika kenaikan harga komoditas yang beriringan dengan penguatan rupiah sepanjang Oktober ini bersifat temporer atau berkelanjutan. \'\'Ini yang menarik untuk ditunggu,\'\' katanya. Dari sektor pertambangan, melonjaknya harga minyak mentah hingga menyentuh level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir, ikut mengerek naiknya harga energi seperti batubara dan gas. Sejak 1 hingga 9 Oktober ini, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi acuan harga minyak dunia memang sudah merangkak naik dari level USD 44,74 per barel ke USD 49,63 per barel, bahkan sempat menembus level psikologis USD 50 per barel. Perbaikan harga batubara dan migas bisa menjadi faktor penting menggeliatnya lagi sektor pertambangan, yang merupakan salah satu sektor penggerak ekonomi di Indonesia. Ryan menyebut, meski harga mulai bergerak naik, namun pemerintah dan pelaku usaha sektor pertambangan harus terus mencermati perkembangan ekonomi Tiongkok. \'\'Sebab, Tiongkok adalah salah satu konsumen komoditas pertambangan terbesar dunia,\'\' ucapnya. Sektor lain yang menunjukkan perkembangan menggembirakan adalah industri kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi banyak daerah di kawasan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sektor yang tahun lalu menyumbang ekspor hingga USD 20,8 miliar (sekitar Rp280 triliun) itu memang sempat tertekan akibat anjloknya harga CPO, namun kini mulai menunjukkan perbaikan. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan mengatakan, harga CPO terkerek naik seiring berjalannya program mandatory biodiesel 15 persen tahun ini, sehingga meningkatkan permintaan di pasar domestik. \'\'Selain itu, adanya el nino yang memicu kemarau panjang juga membatasi pasokan CPO sehingga harga terdorong naik,\'\' ujarnya. Menurut Fadhil, sepanjang September lalu, harga rata-rata CPO ada di kisaran USD 526 per ton. Namun, sepanjang Oktober ini harganya sudah bergerak naik ke kisaran USD 570 per ton. \'\'Alhamdulillah harganya sudah cukup baik meskipun masih lebih rendah dibanding harga tahun lalu,\'\' katanya. Meski demikian, Fadhil mengakui jika dalam beberapa hari terakhir ini harga CPO tertekan akibat penguatan tajam rupiah dan ringgit. Sebab, penguatan mata uang Indonesia dan Malaysia yang menguasai sekitar 80 persen pasar ekspor CPO dunia tiu dikhawatirkan menurunkan daya saing produk CPO dibanding produk minyak nabati dari negara-negara lain. \'\'Tapi saya kira harga masih bisa naik lagi,\'\' ucapnya. Dari sisi makro, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan bahwa penguatan tajam rupiah selain dipengaruhi faktor eksternal, juga dipengaruhi faktor domestik dimana telah terjadi perbaikan fundamental ekonomi dalam negeri. “Inflasi diperkirakan mengarah ke 4,1- 4,3 persen hingga akhir tahun, jadi inflasinya sangat baik. Data-data ekspor impor juga menunjukkan surplus bulanan. Sehingga CAD (Current Account Deficit) di akhir tahun adalah CAD yang sehat, hanya 2 persen lebih sedikit,” ujarnya. Dia menambahkan, bahwa paket-paket kebijakan yang telah dirilis pemerintah juga disebutnya menjadi poin penting dalam mendorong perbaikan fundamental ekonomi. “Memang paket kebijakan ikut dalam rangka mendorong investasi, devisa masuk, dan terciptanya employment. Jadi memang pemerintah meng-address real issue di sektor riil,” tambahnya. Selain itu, mulai bergeliatnya akselerasi kredit juga disebutnya ikut mendorong tanda-tanda pemulihan ekonomi dalam negeri yang sempat tertekan beberapa waktu lalu. Data BI mencatat penyaluran kredit perbankan hingga Agustus tahun ini mencapai Rp3.914,3 triliun atau tumbuh 10,8 persen dibanding periode sama tahun lalu, atau tumbuh 0,46 persen dibanding Juli 2015. Kredit pada bulan Juli tercatat senilai Rp3.896,3 triliun atau tumbuh sebesar 9,6 persen dibanding periode sama tahun lalu. Jika dibandingkan dengan Desember akhir tahun lalu pun yang mencapai Rp3.702,2 triliun, penyaluran kredit Agustus tahun ini tetap mencatat pertumbuhan. Adapun penyaluran kredit perbankan Agustus tahun ini mengalami pertumbuhan 5,73 persen sejak awal tahun. Mirza mengungkapkan bahwa pertumbuhan kredit pada Agustus tahun ini memberikan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. Adanya akselerasi pertumbuhan kredit ini dikarenakan siklus kondisi ekonomi dimana tren di semester pertama tahun ini yang berjalan pelan atau lebih lambat dibandingkan semester kedua. Hal itu disebabkan pada semester kedua tahun ini diyakini belanja anggaran akan lebih besar dibandingkan dengan semester sebelumnya. \"Semester kedua tahun ini dari sisi angggaran pemerintah juga lebih spending dan sudah dicairkan di kuartal ketiga dan keempat 2015,” tuturnya. Dia menambahkan bahwa spending anggaran pemerintah yang lebih besar pada semester kedua tahun ini berpengaruh pada peningkatan permintaan kredit industri perbankan. “Pengeluaran pemerintah dicairkan pada saat itu, kemudian proyek pemerintah mulai jalan. Pada saat itu juga ada yang butuh kredit untuk menjalankan proyek pemerintah. Lalu, swasta juga mulai lakukan dan butuh untuk kredit juga,” katanya. Hingga akhir tahun, BI optimis kredit industri perbankan dapat bertumbuh sebesar 11 persen hingga 13 persen. Meski begitu, pihaknya berharap perbaikan perekonomian Indonesia dan global akan tetap berjalan. “Kami akan tetap mewaspadai gejolak eksternal, terutama Amerika. Tapi mudah-mudahan perbaikan ekonomi ini tetap berlanjut,” ujarnya. Dengan berbagai indikator tersebut, BI pun meyakini jika pertumbuhan ekonomi sepanjang semester II 2015 ini bakal lebih tinggi dibanding realisasi semester I 2015 yang hanya 4,7 persen. \'\'Untuk keseleuruhan tahun ini, BI memproyeksi (pertumbuhan ekonomi) 4,9 - 5,1 persen,\'\' katanya. Salah satu faktor lain yang juga menjadi pertimbangan bergeraknya ekonomi di akhir tahun ini adalah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015 pada 9 Desember 2015 mendatang di 262 provinsi, kabupaten, dan kota. Untuk Pilkada tahun ini, periode kampanyenya sudah dimulai sejak 28 Agustus lalu dan intensitasnya akan terus naik hingga menjelang pemungutan suara Desember nanti. Sudah menjadi rahasia umum jika dalam Pilkada, perputaran uang di masyarakat akan naik signifikan akibat guyuran dana dari para calon, baik dana kampanye resmi maupun yang tidak resmi. Beberapa informasi yang dihimpun Jawa Pos dari sumber di kalangan pemerintahan maupun politisi, total perputaran uang dalam Pilkada tahun ini diperkirakan bakal menembus angka Rp26 triliun. Nominal yang sangat besar, bahkan lebih besar dibandingkan Dana Desa yang tahun ini dianggarkan Rp20,7 triliun. Dengan begitu, sepanjang akhir tahun ini, perputaran uang akan bergerak lebih cepat karena serapan anggaran belanja pemerintah pusat yang biasanya melonjak di akhir tahun, ditambah Dana Desa yang diperkirakan juga banyak dicairkan mendekati Pilkada, serta dana kampanye Pilkada. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui, pelaksanaan Pilkada memang akan memberi dorongan pada pertumbuhan ekonomi. Dia menyebut, saat Pemilu 2014 lalu, perputaran dana bisa memberi tambahan pertumbuhan ekonomi hingga 0,2 persen. Namun, untuk Pilkada, dia meyakini bakal lebih besar. \'\'Pilkada serentak mestinya lebih besar, karena lebih ke rakyat,\'\' ujarnya. (owi/dee)

Tags :
Kategori :

Terkait