Krematorium di Mundu Tarif Flat, Paling Lama Tiga Puluh Tahun

Rabu 18-07-2018,16:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Lahir, hidup, tua dan mati adalah kepastian. Kapan saatnya datang tidak ada yang tahu. Semuanya menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bahkan manusia pun tidak bisa memilih dengan cara apa dia akan meninggal. Ratusan lemari boks kayu berjejer rapi di dua ruangan bangunan besar di Desa Mundu Pesisir. Di dalam boks kayu bernomor tersebut, tersusun rapi guci-guci berbagai ukuran lengkap dengan foto wajah orang di depannya. Tempat ini rupanya bukan tempat biasa, dua ruangan di krematorium ini adalah tempat penitipan abu jasad manusia yang selesai dikremasi (dibakar) sebelum dilarung ke laut oleh pihak keluarga. Guci-guci di dalam boks kayu berkelir putih yang dipasang menempel berjejer di dinding tersebut, berisi abu hasil kremasi. Umumnya, dalam satu boks bisa berisi lebih dari satu guci. Para penyewa biasanya menempatkan guci anggota keluarga dalam satu boks. “Untuk menitipkan abu di sini, tarifnya sekitar satu juta. Itu flat sampai kapanpun. Yang paling lama di sini ada yang sampai 30 tahun, tidak ada biaya tambahan apapun,” ujar Badrun Rokhman, karyawan Krematorium Yayasan Pancaka Seroja saat ditemui RadarCirebon. Dijelaskan Rokhman, tidak semua keluarga pemilik abu jenazah tersebut langsung melakukan prosesi pelarungan abu di laut. Pihak keluarga biasanya menitipkan abu tersebut untuk jangka waktu beberapa tahun sampai pihak keluarga siap untuk melakukan prosesi melarung abu tersebut ke laut. “Saya tidak tahu prosesi pelarungannya harus dengan ritual seperti apa. Tapi biasanya dilakukan di Pantai Kejawanan. Rata-rata kalau jenazah yang dikremasi biasanya dititipkan terlebih dahulu,” imbuhnya. Untuk mengkremasi satu jenazah, pihak anggota keluarganya meninggal paling tidak harus membayar uang sekitar 2,5 juta. dalam prosesi tersebut biasanya sebelum memulai proses kremasi, pihak keluarga akan melakukan ritual di depan tempat kremasi sambil menunggu proses kremasi selesai. “Di tempat kita ada beberapa agama yang melakukan prosesi kremasi, di sini jenazah bisa dibakar menggunakan proses konvensional seperti dibakar menggunakan kayu atau berbahan bakar gas dan solar,” jelasnya. Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses kremasi pun beragam tergantung metode yang digunakan. Jika menggunakan alat dengan bahan bakar gas ini merupakan metode paling cepat karena hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam dan jika menggunakan mesin dengan bahan bakar solar waktu yang diperlukan sekitar dua jam. “Nah yang paling lama itu yang menggunakan kayu. Umumnya warga keturunan dari India dari agama Hindu yang dikremasi menggunakan kayu. Ini bisa sampai tiga jam lebih. Selain itu yang dibakar menggunakan kayu itu proses pengambilan abunya relatif lebih lama waktunya sekitar 3 hari menunggu bara api benar-benar padam,” paparnya. Menariknya, rupanya ada juga pihak keluarga yang sudah memesankan boks penyimpanan yang ada, karena takut kehabisan tempat. Bahkan pihak keluarga sampai sudah membayar penuh untuk tempat penyimpanan abu tersebut. “Biasanya kalau yang begitu yang keluarganya sudah sakit parah dan bisa kapan saja meninggal. Sekarang saja sudah ada tiga yang booking, orangnya belum meninggal,” katanya. Rokhman sendiri sudah sekitar 32 tahun bekerja di krematorium tersebut. Sudah tak terhitung berapa jenazah yang sudah ia masukan ke dalam krematorium, baik yang menggunakan metode konvensional maupun metode modern. Selama bekerja di tempat tersebut, Rokhman belum pernah merasakan atau melihat keanehan. Semuanya berjalan normal seperti biasanya. “Saya ini asli Kebumen, ke sini itu tidak sengaja. Ada teman yang kerja lebih dulu di sini. Saya awalnya main ke sini, terus pas ke sini ditawari, awalnya ya takut juga tapi ya ke sininya sih biasa saja. Kita kerja apa saja yang penting halal,” ungkapnya. (dri)

Tags :
Kategori :

Terkait