Pada awal Februari 2016, Kepala Badan Keamanan Federal Federasi Rusia (FSB) Nikolai Patrushev berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan presiden RI di Istana Merdeka.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, Indonesia memandang perlunya bekerja sama dengan intelijen Rusia. Saat itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menilai kerja sama dengan intelijen Rusia akan memberi banyak manfaat. Menurut Luhut, selama ini Indonesia lebih fokus bekerja sama dengan intelijen Barat, khususnya Amerika Serikat.
Karena itu, pemerintah Indonesia dan Rusia akan bekerja sama dalam pertukaran informasi intelijen. Kerja sama di bidang intelijen ini terutama ditujukan untuk memberantas terorisme dan narkoba.
Kesepakatan kerja sama antara badan intelijen Rusia dan Indonesia menjadi pertanda baik bagi kedua negara. Hal itu juga menunjukkan bahwa Moskow dan Jakarta telah belajar dari pengalaman buruk tahun 1960-an, ketika CIA memiliki akses untuk mendapatkan informasi rahasia mengenai pengiriman senjata Soviet ke Indonesia.
Rusia dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan perukaran informasi intelijen dan meningkatkan kontak antarlembaga penegak hukum. “Kami juga tertarik dalam pembangunan dan pengembangan kerja sama lebih lanjut untuk mengatasi tantangan dan ancaman, terutama di bidang antiterorisme,” kata Presiden Indonesia Joko Widodo kepada wartawan setelah percakapan panjang dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Sochi, (19/5/18).
Perang Melawan Terorisme
Data spesifik milik Indonesia mana yang menarik perhatian intelijen Rusia masih diperdebatkan. Jokowi, meski demikian, menyatakan dengan jelas bahwa kedua negara akan berkerja sama dalam memerangi terorisme.
Indonesia merupakan negara dengan popoulasi muslim terbesar di dunia dan kerap menjadi target serangan teroris. Tak banyak informasi terkait pergulatan tersebut, sehingga Rusia sangat tertarik mengorek data semacam itu dari Indonesia. Kualitas, reliabilitas, dan manfaat informasi tersebut akan ditaksir satu-persatu oleh pakar, yang akan membandingkannya dengan masukan dari sumber lain.
Anehnya, Indonesia merupakan negara pertama di wilayah tersebut yang menandatangani kesepakatan dengan Rusia. Bahkan Vietnam belum menandatangani kesepakatan intelijen dengan sekutu lamanya ini.
Mempertahankan Netralitas
Alasan lain di balik penandatanganan kesepakatan adalah keinginan Indonesia untuk mendiversifikasi ikatan militer dan intelijennya dan perlahan mundur dari CIA dan lembaga intelijen Australia.
Hal tersebut didorong oleh prinsip netralitas, yang dianut Indonesia dalam kebijakan luar negeri mereka.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, baik Moskow dan Indonesia harus mengambil pelajaran dari pengalaman buruk tahun 1960-an, ketika CIA mendapatkan akses informasi mengenai pengiriman senjata Soviet ke Indonesia.
Dukungan untuk Soekarno
Pada 1960-an, Indonesia — yang kala itu dipimpin oleh Presiden Soekarno — terlibat dalam beberapa konflik dengan tetangganya.
Dalam waktu yang relatif pendek setelah Indonesia mengusir Belanda dari bagian barat Pulau Papua, mereka meluncurkan ‘Konfrontasi’, sebuah perang yang tak dideklarasikan dengan Malaysia. Konflik tersebut berakhir tiga tahun kemudian dengan pengakuan Indonesia atas Malaysia sebagai negara merdeka.
Soekarno mendapat dukungan militer dari Uni Soviet, yang tertarik dengan kecondongan sang pemimpin terhadap paham sosialisme. Jakarta menerima senjata bernilai miliaran dolar dari Uni Soviet.
Diyakini bahwa faktor penentu kalahnya Belanda di Irian Barat ialah karena bantuan kapal selam Soviet di sekeliling Pulau Papua. Kehadiran Soviet menumpulkan AL Belanda, yang kapalnya terkurung di pelabuhan.
Beberapa tahun kemudian, di bawah kepemimpinan Suharto, Portugal dipaksa meninggalkan Timor Timur, yang kemudian menjadi negara merdeka pada 2002.
Mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi di wilayah tersebut, CIA meluncurkan Habrink, sebuah operasi skala besar di Indonesia. Tujuan Habrink adalah mengumpulkan informasi mengenai semua senjata yang ditransfer Uni Soviet pada Jakarta.
CIA vs. KGB di Indonesia
Sebagaimana dikutip radarcirebon.com dari laman Vzglyad berbahasa Rusia При работе с Индонезией разведка должна учесть уроки соперничества с ЦРУ Badan intelijen Indonesia saat itu masih terbilang muda dan dalam proses pertumbuhan. Lembaga tersebut mayoritas berisi para mantan pejabat militer Jawa yang dulunya merupakan bagian dari tentara kolonial Belanda.
CIA berhasil menyogok pejabat Indonesia, yang menyerahkan dokumen serta informasi mengenai senjata Soviet.
Pada pertengahan 1970-an, agen CIA David Barnett, yang bekerja di Konsulat AS di Surabaya pada era Soekarno, berhasil merekrut warga Soviet.
Setelah pensiun dari CIA, Barnett pindah ke Indonesia dan membuka penangkaran udang, yang kemudian bangkrut. Ia lalu menjual data mengenai Operasi Habrink pada KGB senilai 100 ribu dolar AS.
Pada 1979, ia dikhianati oleh pengkhianat KGB, yang direkrut oleh CIA di Indonesia.
Barnett dihukum 18 tahun penjara, tapi ia dibebaskan pada tahun 1990. Cerita ini masih sering terdengar hingga hari ini di kalangan komunitas intelijen.
Moskow kini hendak melindungi dirinya sendiri dari kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. CIA tentu akan tertarik pada senjata Rusia yang diekspor Indonesia.
Apa yang Menarik Perhatian CIA Sekarang?
CIA mungkin tertarik pada banyak detail yang selalu mendampingi kontrak skala besar bagi pasokan senjata: skema pendanaan, perantara, lokasi pertemuan, dan kapal transport.
Dan pihak Rusia ingin Indonesia setidaknya mengabari mereka mengenai upaya Rusia untuk merekrut pejabat yang tergabung dalam kerja sama Rusia-Indonesia.
Jika pihak Rusia dan Indonesia mau berusaha, mereka bisa mempertahankan kerahasiaan transfer senjata tersebut. Di Amerika Latin, hal ini tak mungkin.
Sebuah kerja sama intelijen tak selalu didampingi kontrak pasokan militer. Jadi, Indonesia bisa menyatakan bahwa hal ini tak melanggar prinsip netralitas mereka.
Masalah yang terlihat jelas di negara tersebut adalah kekacauan lembaga intelijen Indonesia. Janji-janji posisi kunci kadang diberikan dengan prinsip kolusi dan nepotisme. Selain itu, badan intelijen Indonesia masih lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah internal, bukan memastikan kerahasiaan dan aktivitas intelijen yang sesungguhnya.
Mengamankan Rahasia Bisnis
Kesepakatan Rusia-Indonesia berisi sejumlah poin tambahan, yang kini umum bagi semua lembaga intelijen dunia. Hal yang paling penting ialah aspek ekonomi dalam badan intelijen dan memastikan kerja sama informasi keamanan.
Kontrak sipil bernilai miliaran dolar di bidang migas dan transportasi jalur kereta juga perlu dirahasiakan.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah keamanan kapal dagang dan kapal ikan di perairan Indonesia (terutama di Selat Malaka). Ancaman bajak laut di wilayah ini sama tingginya dengan di wilayah Yaman dan Somalia.
Namun, kesepakatan kerja sama intelijen Rusia dan Indonesia sangat menjanjikan. Namun yang paling penting, kesepakatan ini perlu diimplementasikan dan berfungsi seperti yang diharapkan, tak hanya sekadar kata-kata kosong belaka.(*)