JAKARTA - Satu lagi kasus produk jurnalistik berujung pada bilik penjara. Kemarin (9/10), mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Playboy Ewin Arnada harus mulai mendekam di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Cipinang. Dia menjalani hukuman dua tahun penjara berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
“Sekarang kami eksekusi ke (Lapas) Cipinang,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan M. Yusuf. Eksekusi terhadap Erwin dilakukan dengan upaya paksa penangkapan. Pasalnya, sudah tiga kali dia tidak memenuhi panggilan yang dilayangkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menjalani eksekusi putusan MA.
Bahkan, melalui kuasa hukumnya, Erwin sempat menyatakan akan menyerahkan diri pada 7 Oktober lalu. Namun hingga batas jam kerja formal, yang bersangkutan tidak menampakkan batang hidungnya di Kejari Jaksel, yang terletak di Jalan Rambai, Kebayoran Baru, Jaksel.
Kajari Jaksel lantas menerbitkan surat perintah (sprint) untuk menghadapkan secara paksa Erwin Arnada. “Kalau mau menyerahkan diri itu memang benar, kami hargai. Tapi faktanya dia tidak datang,” kata Yusuf.
Sejak keluarnya sprint tersebut, lanjut dia, jaksa intelijen dan pidana umum Kejari Jaksel langsung bergerak memburu Erwin. “Anak buah saya melaksanakan dengan baik, pengejaran sampai ke Bali,” tutur Yusuf. Pada hari itu, Erwin memang diketahui tengah berada di Pulau Dewata itu untuk mengikuti sebuah acara.
Mantan Kajari Klaten, Jawa Tengah, itu mengungkapkan, jaksa memantau titik-titik di mana Erwin diperkirakan berada. Polda dan Kejaksaan Tinggi Bali juga dilibatkan. Meski begitu, jaksa tak langsung melakukan penangkapan di Bali.
Erwin baru ditangkap oleh tim jaksa Kejari Jaksel saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 14.30 setelah melakukan penerbangan dari Bali. “Di dalam pesawat juga ada orang kami yang memantau,” ungkap Yusuf.
Erwin lantas dibawa dengan mobil tahanan Kejaksaan menuju ke Kejari Jaksel. Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Erwin, sempat keberatan dengan penangkapan itu. Alasannya hendak mengantarnya ke kantor Kejari Jaksel.
Tiba di Kejari Jaksel sekitar pukul 15.45, Erwin lantas dibawa masuk dan naik ke lantai dua untuk menjalani pemeriksaan. Pria yang kemarin mengenakan kemeja putih berjalan santai melewati kerumunan wartawan dengan pengawalan ketat. Raut mukanya terlihat lelah. Pukul 17.00, Erwin kemudian dibawa ke Lapas Cipinang.
Erwin mengaku bahwa kedatangannya ke Jakarta adalah untuk menyerahkan diri ke jaksa pada Kejari Jaksel. Dia menyatakan taat hukum sehingga memenuhi panggilan Kejaksaan. Namun hal itu ditampik Kajari Jaksel M. Yusuf. “(Menyerahkan diri) itu versi dia. Tapi apa yang dilakukan adalah upaya paksa, ada jaksa dan petugas pengamanan, karena sudah beberapa kali tidak hadir,” terang jaksa kelahiran Palembang itu.
Yusuf mengaku menerima permohonan dari Dewan Pers untuk dilakukan penangguhan penahanan. Sebab, pihak terpidana akan mengajukan upaya PK (peninjauan kembali). “Tapi PK tidak menghalangi eksekusi,” tegasnya.
KRIMINALISASI PERS
Eksekusi terhadap Erwin Arnada mendapat perhatian dari Dewan Pers. Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, penahanan yang dilakukan mantan Pemres Majalah Playboy merupakan bentuk kriminilasasi terhadap awak media.
Agus menyayangkan putusan MA yang tidak menggunakan undang-undang pers dalam menjatuhkan vonis kepada Erwin. Namun malah menjeratnya dengan KUHP. “Padahal kasus ini adalah murni karena pemberitaan,” ucapnya kepada koran ini, tadi malam.
Seharusnya, lanjut Agus, pengadilan menggunakan UU Pers dalam kasus majalah Playboy. “Sangat buruk ada wartawan dipenjara karena berita yang dibuatnya,” imbuhnya.
Dewan Pers, lanjut Agus, siap membantu Erwin. Dia mengatakan bahwa pihaknya telah mengirim surat kepada presiden untuk meminta penangguhan sampai proses PK rampung. Bahkan Jumat (8/10) lalu, Dewan Pers juga mengupayakan penangguhan ke pihak Kejari Jaksel.
Tak hanya itu, Dewan Pers juga siap membantu Todung Mulya Lubis yang merupakan tim penasehat hukum Erwin, dalam membuat dan mempersiapkan memori PK. (fal/kuh)