Kereta Cepat Jakarta–Bandung Simbol Kemajuan dan Ancaman Fiskal???
Persidangan mantan menteri Tiongkok Liu Zhijun atas tuduhan korupsi dimulai Sumber: https://www.aman-palestine.org/en/media-center/650.html-ist-radarcirebon
Dalam hal ini, tanggung jawab administratif atau manajerial lebih tepat digunakan. Misalnya, pejabat atau direksi dapat dikenai sanksi berupa pencopotan jabatan, penggantian rugi, atau pembatasan kewenangan, tetapi bukan penjara. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip proporsionalitas dalam hukum administrasi modern, yang menekankan bahwa setiap sanksi harus sepadan dengan tingkat kesalahan dan dampaknya terhadap kepentingan publik.
BACA JUGA:Tak Lagi Tangani Uzbekistan, Timur Kapadze Siap Latih Timnas Indonesia, Gimana Respon PSSI?
Prinsip ini juga didukung oleh Zeng, S. X., Ma, H. Y., Lin, H., Zeng, R. C., & Tam, V. W. (2015) dalam laporannya di International journal of project management yang berjudul Social responsibility of major infrastructure projects in China, yang menegaskan bahwa dalam proyek infrastruktur publik berskala besar, batas antara “kesalahan strategis” dan “penyimpangan etis” harus dibuat jelas. Fisse, B. (1982) memperingatkan bahwa kriminalisasi terhadap semua bentuk kegagalan manajerial justru dapat menimbulkan efek jera yang salah arah, dan pejabat publik akan menjadi terlalu berhati-hati, bahkan takut mengambil keputusan yang berisiko inovatif, yang pada akhirnya dapat menghambat pembangunan.
Dalam kerangka itu, proyek KCJB harus dilihat dengan keseimbangan antara accountability dan fairness. Jika audit forensik membuktikan adanya praktik manipulasi, kolusi, atau rekayasa pembiayaan, maka langkah hukum tegas dan pidana harus diambil. Namun, jika masalah utamanya adalah optimism bias, proyeksi ekonomi yang keliru, atau lemahnya studi kelayakan tanpa unsur penipuan, maka mekanisme tanggung jawab administratif menjadi jalan yang lebih adil dan proporsional.
Apa selanjutnya dalam polemik ini?
Langkah ke depan dalam penyelesaian persoalan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung tidak boleh berhenti pada pencarian kambing hitam atau wacana politik semata. Untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah pengulangan kesalahan di masa depan, diperlukan pendekatan sistematis berbasis hukum, tata kelola, dan integritas kelembagaan.
Pertama-tama, audit forensik independen oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi langkah paling mendesak. Audit semacam ini tidak sekadar bertujuan untuk menghitung kerugian negara, tetapi juga memetakan rantai tanggung jawab, baik yang bersifat langsung (seperti manajemen proyek dan kontraktor) maupun tidak langsung (pejabat pemerintah, auditor internal, hingga pengambil keputusan politik). Audit forensik berbeda dari audit reguler karena menelusuri motif, kronologi keputusan, dan potensi pelanggaran hukum yang tersembunyi di balik angka-angka laporan keuangan.
BACA JUGA:Dukung Kelestarian Lingkungan, DLH Kabupaten Cirebon Optimalkan Digitalisasi Surat Menyurat
Dalam kasus-kasus besar internasional, seperti proyek kereta cepat di Spanyol atau Brasil, audit forensik terbukti mampu membuka praktik cost manipulation dan kolusi antara pejabat publik dan kontraktor swasta.
Kedua, transparansi data kontrak dan pinjaman wajib menjadi prinsip utama. Proyek ini menggunakan dana publik, melibatkan jaminan negara, dan berpotensi menimbulkan risiko fiskal jangka panjang. Karena itu, masyarakat berhak mengetahui bagaimana struktur pembiayaan disusun, siapa penerima manfaat terbesar, dan apa konsekuensinya bila terjadi gagal bayar.
Dalam praktik good governance, keterbukaan dokumen kontrak dan skema pinjaman lintas negara merupakan bentuk public disclosure yang melindungi kepentingan fiskal sekaligus memperkuat kepercayaan publik. Tanpa transparansi, setiap restrukturisasi utang atau pembengkakan biaya akan selalu mencurigakan, bahkan jika dilakukan dengan alasan teknis.
Ketiga, diperlukan evaluasi mendalam terhadap tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selama ini, BUMN kerap dijadikan kendaraan politik untuk mewujudkan proyek-proyek besar tanpa kajian kelayakan yang matang. Fenomena ini menunjukkan apa yang disebut oleh ekonom Joseph Stiglitz sebagai state capture, yakni ketika kebijakan publik dikendalikan oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu, bukan oleh prinsip efisiensi dan kesejahteraan publik. Reformasi tata kelola BUMN harus mengarah pada pemisahan tegas antara peran bisnis dan peran politik, dengan menegakkan kewajiban feasibility study, analisis risiko, dan audit independen sebelum proyek dijalankan.
Keempat, sebagai pembelajaran kelembagaan jangka panjang, pemerintah perlu membentuk Infrastructure Integrity Office, seperti yang diterapkan di Singapura melalui Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) dan Infrastructure Integrity System.
Lembaga ini berfungsi untuk mengawasi risiko korupsi dan konflik kepentingan sejak tahap perencanaan proyek, bukan setelah terjadi penyimpangan. Di Singapura, setiap proyek strategis wajib melalui integrity screening sebelum ditetapkan, memastikan bahwa proses perancangan, pengadaan, dan kontrak bebas dari intervensi politik dan manipulasi biaya.
BACA JUGA:Partai NasDem Pede Jadi Poros Baru di Pilkada Mendatang, Targetkan Kursi Bupati Cirebon
Sehingga empat langkah tersebut, Indonesia dapat bergerak dari sekadar damage control menuju reformasi tata kelola yang substantif. Proyek kereta cepat ini seharusnya menjadi pelajaran nasional tentang pentingnya checks and balances antara ambisi pembangunan dan tanggung jawab fiskal. Audit forensik yang transparan, tata kelola BUMN yang profesional, dan lembaga integritas infrastruktur yang kuat akan menjadi fondasi agar proyek-proyek besar di masa depan benar-benar membawa kemajuan, bukan beban bagi generasi berikutnya.
Referensi
Arief, M Irsan. Benang Merah Penyalahgunaan Kewenangan Dan Diskresi Antara Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana (Korupsi). MCL Publisher, 2022.
Brunner, Ronald D. “Adaptive governance as a reform strategy.” Policy sciences 43, no. 4 (2010): 301–41.
Chen, Xueming. “A sustainability analysis on the Wuhan-Guangzhou high-speed railway in China.” International Journal of Sustainable Transportation 9, no. 5 (2015): 348–63.
Clarkson, Christopher MV. Understanding criminal law. Sweet & Maxwell, 2005.
Eakin, Hallie, Siri Eriksen, Per-Ove Eikeland, dan Cecilie Øyen. “Public sector reform and governance for adaptation: implications of new public management for adaptive capacity in Mexico and Norway.” Environmental management 47, no. 3 (2011): 338–51.
Fisse, Brent. “Reconstructing corporate criminal law: Deterrence, retribution, fault, and sanctions.” S. Cal. L. Rev. 56 (1982): 1141.
Flyvbjerg, Bent. “What you should know about megaprojects and why: An overview.” Project management journal 45, no. 2 (2014): 6–19.
BACA JUGA:Uganda Kalahkan Prancis 1-0, Timnas Indonesia Gagal Tembus 32 Besar Piala Dunia U-17 Qatar 2025
Gailmard, Sean. “Accountability and principal-agent theory.” The Oxford handbook of public accountability, Oxford University Press Oxford, 2014, 90–105.
Jermias, Johnny, Yuanlue Fu, Chenxi Fu, dan Yasheng Chen. “Budgetary control and risk management institutionalization: a field study of three state-owned enterprises in China.” Journal of Accounting & Organizational Change 19, no. 1 (2023): 63–88.
Katsamunska, Polya. “The concept of governance and public governance theories.” Economic alternatives 2, no. 2 (2016): 133–41.
Kusworo, Daffa Ladro, dan Titi Anggraini. “Extensive interpretation of state financial losses in tin sector corruption: A comparative study of emerging economies.” Integritas: Jurnal Antikorupsi 10, no. 2 (2024): 173–86.
Mwaura, Kiarie. “The failure of corporate governance in state owned enterprises and the need for restructured governance in fully and partially privatized enterprises: The case of Kenya.” Fordham Int’l LJ 31 (2007): 34.
Parchomiuk, Jerzy. “Abuse of discretionary powers in Administrative Law. Evolution of the judicial review models: from ‘administrative morality’ to the principle of proportionality.” Časopis pro právní vědu a praxi 26, no. 3 (2018): 453–78.
Peterman, David Randall. The high-speed intercity passenger rail (HSIPR) grant program: overview. Congressional Research Service, 2016.
Prasetio, Lilik. “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Di Indonesia.” The Prosecutor Law Review 2, no. 3 (2024).
Qian, Wendy. Comparative Case Studies of Rent-Seeking in China’s State-Owned Enterprises: the Ministry of Railway and China Mobile. 2012.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


