Ok
Daya Motor

Kereta Cepat Jakarta–Bandung Simbol Kemajuan dan Ancaman Fiskal???

Kereta Cepat Jakarta–Bandung Simbol Kemajuan dan Ancaman Fiskal???

Persidangan mantan menteri Tiongkok Liu Zhijun atas tuduhan korupsi dimulai Sumber: https://www.aman-palestine.org/en/media-center/650.html-ist-radarcirebon

Antara Prestasi dan Paradoks

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), semula digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi modern Indonesia dan tonggak sejarah pertama di Asia Tenggara.

Namun di balik euforia pencapaian teknologi ini, muncul problematika serius dalam aspek tata kelola, akuntabilitas publik, dan risiko fiskal negara.

Menurut laporan AP News (2023) dan The Australian (2024), biaya pembangunan proyek meningkat drastis dari estimasi awal hingga mencapai US$7,3 miliar atau sekitar Rp116 triliun, dengan pembiayaan utama dari China Development Bank (CDB).

Sementara jumlah penumpang jauh di bawah target awal, sehingga pendapatan operasional belum mampu menutupi beban utang. Bila situasi ini dibiarkan, potensi kerugian negara baik langsung maupun melalui intervensi BUMN dan APBN bukan lagi sekadar kemungkinan, melainkan ancaman fiskal yang nyata.

BACA JUGA:Dari Perayaan 14 Tahun Rakyat Cirebon : Bangun Kolaborasi yang Solid untuk Membangun Daerah

Kegagalan Tata Kelola Proyek Publik

Kegagalan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) dapat dipahami melalui kacamata teori tata kelola publik (public governance theory) dan teori principal–agent.   Dalam kerangka ini, hubungan antara pemerintah sebagai principal dan pelaksana proyek, baik BUMN maupun konsorsium seperti PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai agent, kerap diwarnai oleh asimetri informasi dan lemahnya mekanisme akuntabilitas.

Pemerintah, yang seharusnya menjadi pengendali kebijakan dan penjaga kepentingan publik, sering kali tidak memiliki informasi yang sama lengkapnya dengan pihak pelaksana proyek di lapangan. Ketidakseimbangan ini menciptakan ruang bagi potensi manipulasi data, proyeksi optimistis yang tidak realistis, serta keputusan finansial yang tidak sepenuhnya berbasis pertimbangan efisiensi publik.

Thomas, P. G. (2007) dalam tulisannya yang berjudul “Why is performance-based accountability so popular in theory and difficult in practice” menegaskan bahwa tata kelola proyek publik cenderung gagal bila pengawasan berbasis kinerja (performance-based control) tidak diimbangi dengan pengawasan berbasis akuntabilitas (accountability-based control). 

Dalam hal KCJB, dapat dilihat bahwa pemerintah lebih menekankan pada aspek percepatan dan pencapaian simbolik proyek yakni menjadikannya sebagai ikon kemajuan teknologi nasional daripada memastikan efisiensi biaya dan transparansi dalam setiap tahap pelaksanaannya.

BACA JUGA:Kuningan Dapat Dana Rp29 Miliar dari Pusat, Dibagi 5 Proyek Jalan yang Terbesar di Jalur Ini

Orientasi politik terhadap kecepatan dan pencitraan publik inilah yang kerap menyebabkan pengabaian pada aspek fundamental tata kelola, yaitu kejelasan tanggung jawab, audit keuangan yang independen, dan pengawasan kontraktual yang ketat.

Kegagalan pengendalian risiko juga dapat dijelaskan melalui teori moral hazard dalam proyek BUMN.   Ketika risiko finansial suatu proyek besar sebagian besar ditanggung oleh negara atau dijamin melalui instrumen publik seperti APBN atau jaminan BUMN, para pelaksana cenderung mengambil keputusan yang lebih berisiko karena merasa terlindungi oleh “payung negara”.

Dalam situasi seperti itu, akuntabilitas manajerial melemah, sementara insentif untuk bertindak hati-hati menjadi rendah. Akibatnya, pembengkakan biaya, perubahan kontrak yang tidak efisien, dan ketidaksesuaian antara rencana serta hasil menjadi hal yang nyaris sistemik.

Sehingga kegagalan dalam tata kelola proyek publik seperti KCJB bukan semata disebabkan oleh faktor teknis atau administratif, tetapi lebih mendasar, yaitu adanya ketimpangan peran dan tanggung jawab antara aktor publik dan korporasi negara, lemahnya transparansi, serta budaya pengawasan yang reaktif, bukan preventif.

BACA JUGA:Pemkab Cirebon Gelar Job Fair, Bupati Imron: Upaya Tekan Pengangguran dan Buka Akses Kerja ke Jepang ?

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: