Ok
Daya Motor

Apakah Badai ‘Siklon Tropis Senyar’ Akhir 2025 Menyisakan Pertanyaan Lebih dari Sekedar Cuaca?

Apakah Badai ‘Siklon Tropis Senyar’ Akhir 2025 Menyisakan Pertanyaan Lebih dari Sekedar Cuaca?

Prakiraan yang direlease oleh BMKG Sumber: https://wartakepri.co.id/2025/11/27/ada-badai-siklon-tropis-senyar-selat-malaka-aceh-kepri-hingga-sumbar-waspada-3-hari-ke-depan/--radarcirebon

RADARCIREBON.COM - Akhir November 2025 menyuguhkan salah satu krisis alam paling parah dalam sejarah kontemporer Sumatra, antara lain; banjir bandang, longsor massal, ratusan korban tewas, hilang, dan jutaan orang mengungsi akibat hujan ekstrem dan gelombang cuaca tak biasa.

Pemicunya, menurut otoritas meteorologi nasional, adalah “Siklon Tropis Senyar”, sebuah sistem badai tropis yang berkembang dari bibit di Selat Malaka dan kemudian melintasi perairan serta daratan Sumatra, memicu curah hujan tinggi, angin kencang, dan gelombang laut besar.

Di tengah kesedihan dan upaya penyelamatan, muncul kembali wacana lama, yaitu apakah peristiwa semacam ini bisa menjadi pintu bagi teori bahwa negara adidaya atau aktor berskala besar dapat “memanipulasi cuaca” atau memicu anomali alam? Di saat yang sama, komunitas ilmiah menegaskan bahwa berdasarkan fisika dan data, fasilitas riset atmosfer saat ini jauh dari mampu menghasilkan bencana tersebut. Namun peristiwa nyata seperti Senyar memaksa kita menanyakan kembali batas antara kemungkinan ilmiah, spekulasi, dan celah ketidakpastian alam.

Apa yang Kita Tahu tentang Senyar dan Apa yang Belum Kita Ketahui

Menurut laporan resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Senyar bermula dari bibit tropis 95B dan pada 26 November 2025 ditetapkan sebagai siklon tropis. Ketika melejit, pusat tekanan rendah dengan tekanan minimum sekitar 998 hPa dan kecepatan angin maksimum sekitar 43 knot (sekitar 80 km/jam) sempat berada dekat wilayah utara Sumatra. Dampak yang tercatat adalah hujan ekstrem setiap hari selama berhari-hari di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, seperti stasiun hujan mencatat puluhan lokasi dengan intensitas curah hujan lebih dari 200 mm dalam 24 jam.

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa rangkaian proses bencana bermula dari kondisi laut dan atmosfer yang memanas, dengan suhu permukaan laut tinggi, suplai uap air besar, serta pola sirkulasi atmosfer yang mendukung pembentukan awan tebal.

BACA JUGA:PKL Sukalila Datangi Kantor Satpol PP, Minta Keringanan

Kombinasi ketiga faktor ini kemudian mendorong terbentuknya Siklon Tropis Senyar pada akhir November 2025, yang menghasilkan hujan lebat secara terus-menerus. Hujan ekstrem tersebut memicu dua jalur dampak berbeda bergantung pada karakteristik wilayah. Pada daerah lereng curam, tanah yang jenuh air menjadi tidak stabil sehingga terjadi longsor massal.

Sementara di dataran rendah, hujan deras menyebabkan sungai meluap dan sistem drainase tersumbat hingga memicu banjir besar. Longsor maupun banjir kemudian menimbulkan kerusakan infrastruktur dan lingkungan dalam skala luas, yang pada akhirnya berujung pada tingginya korban jiwa serta hilangnya ribuan orang.

Namun  di sinilah ruang ketidakpastian terbuka, bahwa saat intensitas ekstrem, distribusi spasial yang luas, dan dampak segalanya membuat sebagian kalangan bertanya; apakah fenomena alami semata, atau ada katalisator manusia di baliknya? Apakah saat alam sudah “rapuh”, gangguan kecil sekalipun bisa memicu kehancuran?

Hipotesa Skenario Pemicu Tambahan

Dalam wacana rekayasa cuaca atau modifikasi lingkungan, ada kategori klaim yang biasanya dianggap spekulatif , seperti “menciptakan gempa”, “mengatur badai global”, “mengubah medan magnet bumi”.
Namun ada hipotesis tengah, yang tidak ekstrem, tetapi cukup memicu pemikiran, yaitu bahwa manusia mungkin tidak menciptakan badai besar, tapi mereka bisa menambah variabilitas lokal atau memicu “conditon trigger” ketika sistem alam sudah tegang (Trenberth, 2011; Trenberth, Fasullo and Shepherd, 2015). Saya menyebut ini hipotesis pemicu tambahan.

BACA JUGA:Sebelum Ditertibkan Satpol PP, PKL di Kalibaru Bongkar Lapak Sendiri

Dapat dilihat pada gambar diatas yang merupakan instalasi antena HAARP di Gakona, Alaska, dengan latar pegunungan. Foto ini menunjukkan fasilitas penelitian ionosfer yang sebelumnya dikelola Angkatan Udara AS dan kini dialihkan ke University of Alaska Fairbanks agar kegiatan riset atmosfer tetap berlanjut.

Dalam kerangka ini, fasilitas-fasilitas seperti HAARP, meskipun secara daya tidak sebanding dengan energi alam, yang akan menjadi semacam “push kecil” pada atmosfer atau ionosfer (Bailey and Worthington, 1997; Piney, n.d.). Jika saat yang sama ada sistem cuaca atau laut yang sudah rentan (seperti laut hangat, suplai uap air, tekanan rendah, sirkulasi konvergensi), maka gangguan kecil bisa memperkuat pembentukan awan konvektif, mempercepat kondensasi, atau memodifikasi parameter lokal secara temporer, seperti mempengaruhi distribusi angin, turbulensi, atau salinitas laut.

Dalam konteks Senyar, bukan berarti HAARP atau teknologi manusia lain “menyebabkan siklon”, tetapi bisa saja dalam hipotesis, bahwa aksi manusia memperparah, atau mempengaruhi sensitivitas sistem alam terhadap pemicu alami.

Teori “triggering effect” dalam geofisika dan klimatologi mendukung kerangka semacam ini (Komitov and Kaftan, 2024). Sebagai hal bahwa penelitian injeksi fluida pada patahan geologi di Oklahoma dan tempat lain menunjukkan bahwa energi manusia meski kecil bisa memicu gempa jika patahan sudah mendekati ambang kritis (Ellsworth, 2013; Folger and Tiemann, 2015).

BACA JUGA: Cara Mudah Buka Rekening BRI 2025, Cukup Siapkan KTP dan Setoran Awal

Jika analoginya diperluas, yaitu dalam atmosfer, gangguan elektromagnetik atau radiasi ionosfer bisa mempengaruhi partikel bermuatan, distribusi muatan listrik, atau ionisasi lokal, sehingga aspek yang sangat sensitif terhadap sistem awan, petir, dan hujan (Harrison and Carslaw, 2003; Aplin, 2013). Meskipun belum ada penelitian publik yang membuktikan skenario tersebut untuk badai tropis, hipotesis ini menawarkan jalan tengah antara skeptisisme total dan klaim konspiratif ekstrim.

Dapat dilihat pada Gambar diatas yaitu merupakan mekanisme Lightning Induced Electron Precipitation (LEP), ketika gelombang elektromagnetik berfrekuensi sangat rendah yang dihasilkan sambaran petir merambat melalui Earth–Ionosphere Waveguide dan sebagian energinya bocor menuju magnetosfer. Gelombang tersebut kemudian berinteraksi dengan partikel bermuatan di Sabuk Radiasi Van Allen, menyebabkan sebagian elektron terdorong memasuki loss cone sehingga turun kembali ke ionosfer, sementara partikel lain tetap terperangkap mengikuti garis medan magnet.

Skema ini mengartikan bagaimana fenomena petir di atmosfer bawah mampu memicu perubahan dinamika partikel di magnetosfer melalui gelombang whistler, membentuk jalur kopling ionosfer–magnetosfer yang dapat diamati sebagai peningkatan fluks elektron berenergi tinggi.

Kenapa Hipotesis Ini Layak Dipertimbangkan?

Pertama data ilmiah saat ini menunjukkan bahwa energi buatan manusia (seperti pemancar HF) jauh di bawah skala energi alam hingga ribuan hingga jutaan kali lebih kecil (Sim, 2012; Sklar, 2018). Penelitian ionosfer dari dekade terakhir menunjukkan efek lokal, sangat terbatas, dan bersifat sementara. Tidak ada bukti empiris bahwa percobaan tersebut pernah memicu cuaca ekstrem.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait