Kereta Cepat Jakarta–Bandung Simbol Kemajuan dan Ancaman Fiskal???
Persidangan mantan menteri Tiongkok Liu Zhijun atas tuduhan korupsi dimulai Sumber: https://www.aman-palestine.org/en/media-center/650.html-ist-radarcirebon
Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan negara dengan kemampuan teknis tinggi sekalipun tidak kebal terhadap korupsi jika pengawasan publik dan institusi penegak hukum tidak berjalan independen. Political interference di tingkat kementerian menyebabkan pengambilan keputusan yang lebih berorientasi pada ambisi politik ketimbang rasionalitas ekonomi.
Dari kasus ini, Indonesia dapat belajar bahwa keberhasilan infrastruktur besar tidak dapat dilepaskan dari integritas pejabat dan sistem audit yang kuat; tanpa itu, kemajuan teknologi hanya menutupi kelemahan tata kelola.
BACA JUGA:Lolos Putaran ke-5, Irak dan UEA Akan Saling Jegal untuk Tiket Piala Dunia 2026
Berbeda konteksnya, proyek California High-Speed Rail (AS) yang dimulai pada 2018 memperlihatkan sisi lain dari tata kelola yang demokratis namun kompleks. Proyek ambisius yang diharapkan menghubungkan San Francisco dan Los Angeles itu mengalami pembengkakan biaya dari perkiraan awal US$33 miliar menjadi lebih dari US$113 miliar.
Audit publik yang dilakukan oleh California State Auditor menemukan bahwa estimasi awal biaya dan waktu pengerjaan terlalu optimistis, serta tidak mempertimbangkan risiko lingkungan dan hukum secara realistis. Namun, yang membedakan proyek Amerika ini dari kasus di negara berkembang adalah transparansi proses koreksi kebijakan.
Ketika pembengkakan biaya tidak dapat dihindari, pemerintah negara bagian tidak menutupi kegagalan tersebut, tetapi menghentikan sebagian proyek, melakukan restrukturisasi terbuka, dan menyusun ulang jadwal serta pendanaan berdasarkan hasil audit independen.
Dalam teori public management reform, praktik ini menunjukkan penerapan adaptive governance, yaitu kemampuan pemerintah menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi empiris, bukan tekanan politik. Bagi Indonesia, pelajaran yang dapat diambil ialah bahwa transparansi dan keterbukaan audit merupakan mekanisme paling efektif untuk memulihkan kepercayaan publik ketika proyek besar mulai menunjukkan gejala gagal finansial.
BACA JUGA:Lion City Sailors FC vs Persib Bandung, 120 Tiket Untuk Bobotoh, Buruan Pesan!
Sementara kasus Kereta Cepat Malaysia–Singapura (HSR) pada tahun 2021 menggambarkan bagaimana keputusan politik yang berani untuk membatalkan proyek justru dapat dianggap sebagai bentuk responsible governance. Proyek lintas negara yang direncanakan untuk menghubungkan Kuala Lumpur dan Singapura itu akhirnya dibatalkan oleh Pemerintah Malaysia karena pembengkakan biaya dan ketidakpastian manfaat ekonomi.
Yang menarik, pembatalan tersebut dilakukan secara terbuka setelah kajian ekonomi menunjukkan bahwa potensi keuntungan jangka panjang tidak sebanding dengan beban fiskal negara. Pemerintah Malaysia bahkan secara eksplisit mengakui bahwa perencanaan awal proyek dilakukan dengan estimasi yang “terlalu optimistis” dan kemudian menegosiasi ulang perjanjian dengan Singapura tanpa menutup-nutupi kesalahan. Keputusan ini memperlihatkan bagaimana transparency in failure, yaitu keterbukaan dalam mengakui kegagalan justru menjadi cerminan kedewasaan tata kelola publik.
Jika dibandingkan, ketiga kasus di atas menempatkan proyek KCJB dalam posisi reflektif. Indonesia berada di antara dua ekstrem, yaitu di satu sisi, ada risiko seperti di Tiongkok di mana pengawasan internal tidak cukup kuat untuk mencegah korupsi pada proyek strategis nasional, dan di sisi lain, Indonesia belum memiliki budaya transparency in failure seperti Amerika Serikat atau Malaysia, yang berani mengakui kesalahan dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil audit publik.
Diskursus Hukum dan Tanggung Jawab Pidana
Dalam perspektif hukum Indonesia, persoalan tanggung jawab pidana dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung tidak dapat dilepaskan dari perdebatan klasik antara maladministrasi, negligence, dan criminal intent. Diskursus hukum yang muncul tidak sekadar bertanya “siapa yang bersalah,” tetapi lebih mendasar, yaitu “apakah kesalahan itu bersifat pidana atau administratif?”
BACA JUGA:Shopee Jagoan UMKM Naik Kelas Catat 85 Juta Views & Dapat Sambutan Positif dari Publik
Dalam hukum pidana, unsur kesengajaan (mens rea) menjadi kunci. Pidana hanya dapat dikenakan apabila terbukti terdapat niat jahat atau kesadaran pelaku dalam melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, tindakan seperti mark-up dalam pengadaan, kickback, atau pemalsuan dokumen kontrak merupakan bentuk penyimpangan yang jelas masuk kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Demikian pula, bila terdapat penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan proyek, misalnya pejabat publik yang menandatangani perjanjian dengan data yang tidak benar atau dengan tujuan menguntungkan pihak tertentu, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai bentuk abuse of power yang memiliki konsekuensi pidana.
Namun, hukum juga membedakan antara niat jahat dan kesalahan manajerial. Bila yang terjadi adalah kegagalan dalam perencanaan atau manajemen risiko tanpa indikasi niat untuk memperkaya diri atau pihak lain, maka penyelesaiannya seharusnya tidak melalui jalur pidana.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


