Fintech Lending Makin Tumbuh Subur di Tanah Air
JAKARTA – Fintech pendanaan atau peer-to-peer (P2P) lending di tengah pandemi Covid-19 semakin tumbuh subur di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko mengungkapkan, P2P lending marak di Indonesia lantaran adanya ceh atau gap pendanaan hingga mencapai Rp1.000 triliun yang tidak bsia dipenuhi oleh perbankan.
Hal ini, kata dia, berdasarkan laporan World Bank atau Bank Dunia pada 2016 lalu. Disebutkan, kebutuhan total UMKM di Indonesia sebesar Rp1.600 triliun.
“Sedangkan kapasitas dan kemampuan lembaga keuangan tradisional yang ada saat ini masih sekitar Rp660 atau tepatnya Rp600 triliun. Jadi, ada Rp1000 triliun kesenjangan atau gap kekosongan yang belum terpenuhi,” ujarnya dalam RPDP bersama Komisi XI, kemarin (14/1).
Dijelaskan, celah inilah yang menjadi daya tarik para pelaku fintech untuk mengisi kekosongan ceruk yang ada. Di samping itu, perbankan juga masih belum maksimal dalam melakukan pelayanan.
“Kenapa demikian marak?, karena memang kesenjangan itu sangat besar, dan itu tidak terlayani. Dan belum terlayani secara optimal dari lembaga keuangan yang ada,” tuturnya.
Kendati begitu, pihaknya akan terus aktif melindungi konsumen, terlebih mengenai data pribadi yang rentan untuk disalahgunakan.
“Apabila ada anggota kami yang terbukti melakukan pelanggaran (data pribadi) atau apapun, nantinya ada dewan komite yang menindaklanjuti. Apabila ada pelanggaran berat, maka akan dikeluarkan,” tegasnya.
Kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H Amro menekankan perlu adanya lembaga yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi konsumen fintech.
Menurut dia, lembaga penjamin menjadi perlu untuk bisa masuk dalam sektor industri ini sehingga nantinya jika ada nasabah bermasalah, tidak ada lembaga yang bisa menjamin.
“Aset pengelolaan perbulan kan luar biasa mencapai Rp7 triliun, kalau setahun bisa Rp80 triliun. Sekarang kalau ada problem, adakah jaminan keamanan bagi konsumen masuk ke situ,” kata Fauzi.
Tidak adanya lembaga penjamin, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana terdapat pada bank konvensional, ditengarai berpotensi menimbulkan banyaknya aduan dari sisi konsumen.
“Kalau seandainya LPS tidak masuk ke situ, sementara AFPI hanya menjadi fasilitator saja, ketika nanti nasabah bermasalah siapa yang akan bertanggung jawab, LPS-nya tidak ada, di perbankan saja ada jaminan, perlu skema mendetail dari hulu hingga hilir,” imbuh Fraksi Partai NasDem tersebut.
Belum disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), juga dinilai Fauzi, dapat membuat fintech semakin rentan. Meski ada Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 namun aturan tersebut belum bisa membedakan sistem operasi antara fintech yang sudah memegang izin dengan fintech yang baru sebatas terdaftar di OJK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: