KPK Larang Penghulu Terima Uang
*Yang Sudah Menerima Wajib Hukumnya Melapor JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan berapapun besaran uang yang diterima penghulu dari masyarakat adalah gratifikasi. Oleh sebab itu, lembaga antirasuah itu berharap agar penghulu dan petugas pencatatan pernikahan berani menolak. Penegasan itu sekaligus menolak diberikannya kemudahan melalui aturan tambahan yang digodok Kementerian Agama (Kemenag). Seperti diberitakan, Komisi VIII DPR dan Kemenag sepakat untuk mengatur batasan upah dari masyarakat terkait pencatatan pernikahan oleh penghulu. Terutama, bagi mereka yang memberikan pelayanan di luar jam kerja dan di luar Kantor Urusan Agama (KUA). Rencananya, aturan tambahan itu akan dikoordinasikan dengan KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, undang-undang sudah mengatur kalau menerima uang atau pemberian lain di luar gaji termasuk gratifikasi. Itulah kenapa, ada baiknya para penghulu tidak menerima begitu saja pemberian itu. \"Kalau menerima, berapapun jumlahnya harus dilaporkan,\" ujar Johan. Dia juga menegaskan kalau aturan undang-undang bersifat mengikat. Tidak peduli kegiatan itu dilakukan pada hari kerja atau hari libur. Nah, bagi yang sudah terlanjur menerima, Johan menyarankan untuk melapor ke KPK karena wewenang ada di lembaganya. Nanti akan dilihat, apakah itu termasuk gratifikasi atau tidak. \"Nanti akan ada keputusan, apakah diserahkan ke negara atau dikembalikan ke penerima,\" jelasnya. Sesuai aturan, pelaporan itu batas maksimalnya 30 hari sejak diterima. Ditegaskan Johan, berapapun yang diterima bisa dilaporkan karena tidak ada batas minimal dalam pelaporan. Bagaimana kalau aturan tambahan itu ternyata disepakati? Johan menyebut tidak menggugurkan wajib lapornya. Apalagi, hingga kini belum jelas apa saja poin yang akan dimasukkan dalam aturan tersebut. Jadi, KPK tetap mengimbau kepada para penghulu untuk menolak pemberian. Johan mengakui, pihaknya bakal kerepotan kalau seluruh penghulu berbondong-bondong melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Apalagi, kalau jumlahnya kecil atau dalam kisaran ratusan ribu rupiah. Jadi, pihaknya akan berupaya membentuk semacam pokja di Kemenag. \"Nanti, laporan disampaikan ke pokja itu, kolektif, baru dilaporkan ke KPK,\" urainya. Sementara, Menag Suryadharma Ali mengatakan pemberian uang transportasi atau uang terima kasih kepada petugas KUA adalah hal yang wajar. Apalagi, kalau itu diberikan kepada mereka yang menikahkan pada hari libur. \"Masyarakat tahu pemerintah tidak sediakan uang transport. Supaya tugasnya berjalan, pihak yang menikah tidak segan-segan memberikan ucapan terima kasih,\" katanya. SDA mengatakan, secara aturan hukum memang tidak boleh, meskipun banyak yang menyebut kearifan lokal. Dalam ketentuan yang berlaku, kearifan lokal tetap kalah dengan aturan hukum formal. Solusi yang paling dekat menurutnya adalah mengalokasikan anggaran khusus bagi pencatat nikah yang menikahkan pasangan di luar kantor dan jam kerja. \"Anggaran itu harus ada, untuk laundry jas penghulu saja sudah Rp100 ribu,\" paparnya, lantas tertawa. Tetapi sampai usulan Kemenag untuk diadakan anggaran khusus pencatatan nikah belum disahkan. Dia mengatakan, Kemenag itu hanya mengusulkan, sedangkan yang menetapkan ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Anggaran itu sampai saat ini belum disahkan karena ada yang berpendapat; negara kok membiayai orang menikah. \"Padahal yang dibiayai itu pencatatan nikahnya,\" papar dia. Anggota Komisi VIII DPR Raihan Iskandar mengatakan, aksi mogok para penghulu dipicu dari pernyataan Irjen Kemenag M Jasin. Jasin mengatakan di sejumlah media massa bahwa gratifikasi pencatatan nikah mencapai Rp1,2 triliun. Angka itu didapat dari jumlah kegiatan pernikahan yang mencapai 2,5 kali/tahun dikalikan rata-rata pungutan sebesar Rp500 ribu/pencatatan nikah. \"Awalnya Irjen yang memantik api, sekarang harus memadamkannya,\" kata dia. Dia menuturkan, Kemenag harus bisa mencermati perbedaan antara gratifikasi, hadiah, shadaqah, dan pungutan liar. Raihan mendukung keputusan aksi mogok masal para penghulu itu, karena pemerintah melakukan pendekatan hitam-putih terhadap pemberian dari pasangan mempelai. Raihan menyatakan ada petugas KUA yang harus melalui perjalanan darat hingga 140 KM untuk sampai ke rumah penduduk. \"Bahkan ada juga yang sampai naik kuda semalaman,\" tandasnya. Raihan mengatakan, citra dan posisi mulia para penghulu harus bisa dijaga. Dia mendukung jika Kemenag akhirnya bersedia mencari jalan tengah bersama Kejagung, KPK, bahkan Polri. (dim/agm)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: