Sejarah Desa Cilimus Kuningan, Persinggahan Ki Casawana Dalam Membangun Tarikolot

Sejarah Desa Cilimus Kuningan, Persinggahan Ki Casawana Dalam Membangun Tarikolot

Kantor Balai Desa Cilimus dengan halaman yang sudah ditata menjadi Taman Cilimus. Sejarah desa berawal saat Ki Sacawana membangun Tarikolot.-Tangkapan Layar Video-Yotube Nusaherang TV

Akhirnya Pangeran Adiredja Martakusumah memerintahkan kepada para keluarga serta pengikutnya untuk memanggil dirinya dengan nama baru yakni Ki Sacawana.

Rombongan kemudian beristirahat di suatu tempat yang banyak terdapat pohon mangga limus yang aroma khas buahnya sangat harum.

Deretan pohon mangga limus itu, banyak terdapat di sepanjang sungai Cibacang, sehingga pakuwon itu diberi nama Cilimus dari kata 'air' dan pohon mangga 'limus'.

BACA JUGA:Mau Budidaya Lebah Klanceng Sendiri Tanpa Melalui PT MBM? Simak Caranya

Lokasi istirahat rombongan itu, sekarang bernama 'goang' (sungai) Cibacang, rombongan tersebut sejenak beristirahat untuk melepaskan lelah. 

Setelah merasa cukup beristirahat rombongan berjalan ke arah timur menyusuri sungai Cibacang tadi. 

Akhirnya tiba disatu tempat yang dirasa tepat untuk mendirikan tempat tinggal dan pusat pemerintahan yang bernama Tarikolot.

Setibanya di padukuhan Tarikolot, Ki Sacawana mulai membangun pemukiman dan juga balai pusat pemerintahan (Balai Desa). 

Singkat cerita, pemukiman yang dibangun Ki Sacawana berkembang, rakyat Cilimus dan sekitarnya menjuluki beliau adalah Ratu Ngadeg Piambek.

BACA JUGA:Dibawah Bayang-bayang Ketidakpastian Ekonomi Global, Investasi Emas Bisa Jadi Solusi Alternatif

Ratu Ngadeg Piambek yang merupakan bahasa Sunda yang memiliki arti 'raja yang berdiri sendiri' atau raja yang tidak dipilih rakyat tapi jadi dengan sendirinya.

Ki Buyut Sacawana atau Ratu Ngadeg Piambek memiliki profil yang menarik, digambarkan berperawakan sedang dan berotot, agak tinggi badannya, rambutnya panjang tebal dan agak ikal.

Selain itu, didirnya memiliki kulit kuning langsat, berhidung mancung, bermata tajam namun teduh. 

Bicaranya bisa tegas bisa lembut tergantung kondisi lemah lembut pada rakyatnya.

Gaya berpakaiannya seperti kebanyakan masyarakat Sunda pada masa itu, yaitu baju pangsi hitam serta ikat kepala batik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: