Menuju Kampanye Pilkada Jawa Barat Yang Ramah, Bukan Marah

Menuju Kampanye Pilkada Jawa Barat Yang Ramah, Bukan Marah

Ahyarudin SPdI, mahasiswa S2 UMJ dan pegiat kepemiluan.--

Semestinya, sebagai lembaga kesucian tentang keagamaan tidak ikut intervensi dalam perpolitikan. Tidak mengeluarkan pernyataan kontra produktif, menjadikan salah satu kandidat (paslon) terpojokkan. 

Kalaupun ingin ikut berpartisipasi, cukup sebatas imbauan mensukseskan pelaksanaan pemilu, misalnya fatwa “Haram Golput”, “Anti Money Politik” dan lain sebagainya, bukan merugikan seseorang untuk menunaikan haknya sebagai warga negara dalam demokrasi.

Ketiga, apa yang seharusnya dilakukan untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA sering menjadi permasalahan dalam perpolitikan kita?

Harus diakui sekarang setiap kali diadakan pemilihan mengalami proses deparpolisasi. Masyarakat seakan sudah tidak percaya dengan adegan-adegan politik yang dilakukan kaum elit politik, baik kandidat, parpol, pendukung, tim kampanye maupun relawan. 

Hal itu, menambah sederet persoalan penyelenggara pemilu. Angka golput (suara tidak sah) semakin meningkat, keterlibatan masyarakat sebagai vooters menurun. Ini menunjukkan sikap publik yang stereotip terhadap demokrasi. 

Untuk tetap menjaga persatuan antar umat beragama ketika isu SARA muncul di perpolitikan, maka dapat dimulai dari proses rekruitment yang selektif pada parpol sebelum diajukan ke KPU sebagai calon tetap. 

Disamping itu juga, praktek koalisi yang terbangun harus punya komitment bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Terkadang, laku transaksional antar partai kurang memperhatikan terkait isu SARA ini. 

Seringkali, praktek koalisi lebih dominan pada pragmatisme. Maka, tidak heran jika kemudian isu SARA selalu hadir dalam kancah perpolitikan. 

Sehingga, revitalisasi peran parpol perlu dilakukan. Setiap parpol memiliki ad/art, program dan visi misi, yang seluruhnya merupakan ideologi partai. 

Penguatan ideologi, etika politik dan kemampuan mengelola konflik menjadi penting dilakukan, agar praktek politik tidak terjebak dalam pola pragmatisme namun lebih berbasis ideologi. (*)

Ahyarudin SPdI (Mahasiswa S2 UMJ dan Pegiat Kepemiluan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: