Kekhawatiran Akademisi Soal Militerisasi di Pemerintahan Prabowo - Gibran: Pengkhianatan Reformasi?

Akademisi mengkhawatirkan militerisasi di pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.-Istimewa-radarcirebon.com
RADARCIREBON.COM - Akademisi mengungkap kekhawatiran terkait dengan militerisasi di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam diskusi Universitas Paramadina yang bekerjasama dengan LP3ES, disorot isu terkait pengesahan RUU TNI serta dampaknya terhadap reformasi dan prinsip demokrasi di Indonesia.
Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Peni Hanggarini mengkritisi proses penyusunan RUU TNI yang dinilainya tidak transparan dan dilakukan secara tergesa-gesa.
“Proses legislasi yang dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan minim keterlibatan publik justru dianggap lumrah oleh elite politik” tutur Peni.
BACA JUGA:Hujan Deras Tak Halangi DPK KNPI Kesambi Kota Cirebon dan OKP Bagikan Takjil
Peni menyoroti beberapa pasal dalam revisi ini, seperti Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53 yang mengatur perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga dari sebelumnya 10 menjadi 14.
Menurutnya, kebijakan ini berpotensi mengancam kebebasan sipil dan meningkatkan risiko konflik kepentingan dalam pemerintahan.
Sementara itu, Hadi Rahmat Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, turut menyoroti cepatnya proses pengesahan RUU TNI.
Ia mengkritik bagaimana RUU ini langsung dimasukkan ke dalam Prolegnas pada Februari dan disahkan pada Maret, sementara banyak rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak justru tertunda.
BACA JUGA:Rinna Suryanti: Media Punya Peran Strategis dalam Menyebar Informasi dan Membentuk Opini Publik
“Proses legislasi yang terburu-buru seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam negara demokratis” tegasnya.
Hadi menekankan bahwa hukum harus ditegakkan tidak hanya dari segi materi, tetapi juga dari proses yang transparan dan akuntabel.
Ia juga mengingatkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan harus dijamin agar keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hanya elite politik.
Sementara itu, Wijayanto, Direktur Pusat Kajian Media & Demokrasi LP3ES menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, militer seharusnya berfungsi sebagai penjaga pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan sipil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: