Usul Hapus BBM Premium

Usul Hapus BBM Premium

Jadi Celah Masuknya Para Mafia Migas JAKARTA - Sebagai satu-satunya pengimpor bahan bakar minyak (BBM) RON 88, membuat Indonesia menjadi sasaran empuk mafia minyak dan gas (Migas). Kemarin, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) menyampaikan rekomendasi penentuan harga BBM bersubsidi yang sudah diberikan ke Menteri ESDM Sudirman Said. Salah satu poin pentingnya adalah, menghentikan impor RON 88. Ketua Tim RTKM Faisal Basri memaparkan temuan timnya selama ini. Semuanya berawal dari keterbatasan produksi BBM dari kilang domestik yang usianya sudah tua. Kemampuannya hanya 800 ribu barel per hari, padahal kebutuhan nasional mencapai 1,5 juta barel per hari. “Hal itu mengakibatkan rendahnya efisiensi hasil produk dari kilang Pertamina dan sangat tingginya biaya produksi kilang,” ujarnya kemarin di Kementerian ESDM. Kondisi itu diperparah dengan kilang-kilang yang hanya bisa memproduksi minyak dengan hasil produk Premium, solar bersubsidi (sulfur 0.35 persen), dan Minyak Tanah. Di Asia Tenggara, lanjut Faisal, tidak ada negara yang menggunakan RON 88. Jadinya, Indonesia membeli minyak untuk spesifikasi RON 92 yang produknya dikenal dengan Pertamax. Dia menyebut, secara implisit ada keharusan memblending bensin impor sehingga spesifikasinya sama dengan RON 88. “Blending dilakukan lewat penambahan Naptha dengan persentase tertentu pada bensin yang kualitasnya lebih tinggi, misalnya RON 92,” jelasnya. Besarnya impor RON 88, pakar asal Bandung itu menyebut volume pembeliannya jauh lebih besar dibandingkan dengan transaksi RON 92 di kawasan Asia Tenggara. Pembelian yang besar, ternya­ta tidak diikuti dengan daya tawar yang besar. Tim RTKM menemukan fakta bahwa Indo­nesia tidak memiliki kekuatan dalam pembentukan harga MoPS (mean of plats Singapore) untuk RON 92 yang menjadi benchmark harga RON 88. Gampangnya, produsen mem­buat spesifikasi khusus untuk Indonesia dan menentukan harga berdasarkan kuasa mereka. Lantaran Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa, itu menjadi cela bagi kartel untuk masuk. “Mereka berpeluang menjadi satu-satunya penjual atau produsen yang menghasilakan RON 88 untuk Indonesia,” terangnya. Itulah kenapa, perlu bagi Indonesia untuk menghentikan impor RON 88 supaya kartel tersebut tidak lagi mengusik. Dia yakin karena pemain RON 92 banyak dan bukan Indonesia saja yang menggunakannya. Pa­sarnya yang kompetitif dise­but­nya bisa menghasilkan fair­nya proses pembentukan harga. Lebih lanjut dia menjelaskan, setelah dibawa ke Indonesia, ternyata proses pembentukan harganya sangat rumit. Itu karena tidak ada patokan harga di Bursa Singapura untuk RON 88. Lantas, diciptakannya rumus-rumus untuk melakukan penghitungan sebelum mele­pas bahan bakar itu ke masyarakat. “Pada kondisi tertentu, blending untuk menghasilkan RON 88 dapat lebih mahal dari harga bensin dengan kualitas lebih tinggi,” bongkarnya. Formula yang masih digunakan saat ini disebutnya kadaluarsa karena Menggunakan faktor pengali berdasar data masa lalu. Misalnya, tariff blending sebesar USD 0,5 per barel dan 0.36 sebagai porsi impor premium berdasar rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) 2007. Begitu juga angka 0,9842 yang menjadi faktor pengali MoPS Ron 92. Itu mengacu pada harga MoPS 92 dan MoPS naphta dari kurun Januari 2004 sampai Desember 2006. Data itu menambah fakta bahwa cara untuk menghitung harga patokan didasarkan pada benchmark yang tidak jelas. Rekomendasi penghentian impor RON 88 dan Solar ber­subsidi dengan sulfur 0.35 persen secara otomatis mening­katkan impor RON 92. Tetapi, itu tidak apa karena sekaligus mengalihkan produksi kilang domestik dari RON 88 menjadi RON 92. Dia meyakinkan, dampak keseluruhannya nanti menjadi positif. Kondisi saat ini, ketika minyak turun, membuat harga RON 92 menjadi sangat dekat dengan RON 88. Malah, dia menyebut disparitas harga tidak seperti di pasaran saat ini yang berbeda Rp1.450. Seperti diketahui, harga Premium saat ini Rp8.500 dan Pertama Rp9.950 untuk Jabodetabek. Bagaimana kalau harga minyak melonjak lagi? Tidak masalah karena maish ada subsidi. Subsidi nantinya dialihkan ke produk Pertamax. Polanya menggunakan subsidi tetap yang angkanya nanti dibicarakan oleh pemerintah dan DPR. Rekomendasi juga berisikan dorongan kepada Pertamina supaya segera memperbaiki kilang-kilang yang ada. Dia tahu, kilang yang bisa mengolah RON 92 hanya di Ba­longan. Untuk itu, pemerintah perlu memfasilitasi proses percepatan perbaikan, maupun perluasan kilang. “Selama masa transisi, produk RON 88 yang dihasilkan dipasarkan di wilayah sekitar lokasi kilang atau diserahkan ke kebijakan pertamina,” tuturnya. Faisal tahu, rekomendasinya tidak bisa dilakukan dengan cepat. Kalau pemerintah melalui Menteri ESDM Sudirman Said menyetujui rekomendasi itu, dia perkirakan butuh waktu transisi selama lima bulan. Menurutnya itu angka yang pas karena saat melakukan pertemuan, Pertamina mengklaim bisa melakukan perubahan dalam dua bulan. Anggota Tim Darmawan Pra­sodjo menambahkan, peng­hentian impor RON 88 ke RON 92 pasti diikuti penambahan biaya. Hitungan­nya, penambahan itu sebanding dengan manfaat yang didapat nanti. “Penambahannya hanya 1 persen dari cost untuk tiap tamba­han 2,5 oktan. Kalau tambah­annya 4 oktan (dari RON 88 ke RON 92, red) berarti ada kenaikan harga 1,6 persen,” jelasnya. Keuntungan lain yang dimaksud Darmawan ada dari beberapa aspek. Misal, dampak ke lingkungan karena RON 88 lebih polutif. Selain itu, Tim RTKM yakin betul kalau pengalihan subsidi ke Pertamax membuat pemain lain seperti Shell dan Total akan menurunkan harga juga. Media Manager Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan belum ada kordinasi dengan penanggung jawab kilang. Apakah benar, klaim Tim RTKM bahwa perubahan itu bisa dilakukan begitu saja. Termasuk, berapa besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat kilang itu bisa menghasilkan RON 92. Yang pasti, keputusan untuk menghilangkan RON 88 me­nurut­nya tidak bisa secepat membalik telapak tangan. Perlu hati-hati untuk memikirkan dam­pak dan prosesnya di masya­rakat. Kalau memang pemerintah mengamini rekomendasi Tim RTKM, dia mengatakan SPBU memang bisa beradaptasi dengan cepat. Seperti tidak perlu mengganti nozzle dan hanya mengganti isi tangki Premium menjadi Pertamax. Tidak ada masalah besar karena menurutnya tangki Premium bisa dicampur Pertamax. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun sepakat dengan usulan Tim RTKM. Menurut Misbakhun, pemerintah sebaiknya segera melaksanakan rekomendasi penghapusan BBM dengan oktan 88 itu. Menurut Misbakhun, peng­adaan premium selama ini meru­pakan lingkaran setan mafia migas. Misbakhun mene­gaskan jika BBM jenis premium merupakan sumber kerugian anggaran negara, dengan munculnya subsidi yang tinggi. “RON 88 itu biang kerok, mereka para mafia migas selalu punya alasan untuk menggunakan harga khusus pengadaan premium,” ujarnya. Misbakhun menilai, jika premium dihapus, masyarakat tidak perlu risau. Misbakhun mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan dua jenis harga Pertamax atau jenis RON 92. Artinya, ada dua jenis konsumen yang bisa menggunakan dua harga pertamax. “Jadi nanti ada Pertamax yang disubsidi, ada yang tidak disubsidi. Ini tinggal manajemen subsidinya,” kata Misbakhun. Salah satu inisiator hak interpelasi kenaikan harga BBM itu menyatakan, de­ngan menerapkan dua jenis harga pertamax, maka jenis kon­su­men penggunanya harus diatur dengan tegas. Subsidi itu bisa diberikan secara lang­sung dengan sistem harga yang berbeda, atau secara tidak langsung. “Misalkan, subsidi khusus angkot, atau BPJSnya dibebaskan, tinggal menen­tu­kan opsi-opsinya,” ujarnya. Sementara, rekomendasi Tim RTKM untuk memindahkan subsidi dari premium ke pertamax ditolak keras oleh anggota komisi XI Kurtubi. Dia menilai, solusi permasalahan tata kelola migas bukan cara memindahkan subsidi. Menurutnya, persoalan ada di sekotor hulu sampai hilir. “Persoalan di sisi hulu segera diperbaiki sistem yang melanggar konstitusi, dan di sisi hilir juga perlu disederhanakan sistemnya,” jelasnya. Selain itu, dia merasa rencana itu belum dipikirkan dampak baik dan buruknya. Menurut Kurtubi, premium sudah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, premium sudah cocok dengan mesin kendaraan di Indonesia. Kurtubi khawatir jika nantinya premium dihapus malah menambah beban masyarakat sebab warga tidak bisa menggunakan kendaraannya. “Perlu ditinjau lagi. Di amerika serikat sampai hari ini bensin sejenis premium oktan 87 masih dipakai sampai sekarang,” paparnya. GAIKINDO DUKUNG PENGHAPUSAN BBM RON 88 Ketua Gabungan Industri Ken­daraan Bermotor Indonesia (Gai­kindo) Jongkie Sugiarto mengaku sudah sejak lama men­dukung wacana pema­kaian BBM Ron 91 ke atas di Indonesia. Sebab di luar negeri sudah jarang negara yang memakai BBM Ron 88, atau kan­dungan oktan rendah. “Apa­lagi semua mobil keluaran tahun 2006 keatas itu sudah standar emisi Euro 2 yang arti­nya wajib memakai BBM Ron 91 keatas, itu sudah kita sosialisa­sikan ke pengguna,” ujarnya. Menurut dia, meski aturan ini sudah dijelaskan dalam buku pemakaian kendaraan, tapi masih saja banyak pemilik kendaraan yang bandel dan menggunakan bahan bakar premium RON 88. Dengan demikian, Jongkie menilai industri otomotif tidak bakal kebe­ratan jika memang BBM RON88 benar-benar dihapus­kan. “Jadi tidak ada lagi celah untuk memakai BBM RON 88, karena memang bagi pemilik mobil diatas tahun 2006 itu tindakan salah,” tegasnya. Bagi pemilik mobil di bawah tahun 2006 kebijakan itu justru bisa membuat performa mesin menjadi lebih bagus. Demikian juga untuk mobil-mobil keluaran tahun 2006 keatas. Dengan menggunakan BBM Ron 91 ke atas pembakaran bisa lebih sempurna. “Yang pasti dengan menggunakan BBM Ron 91 keatas mesin lebih kencang, tidak mudah rusak karena sisa pembakaran bahan bakar lebih minim dan ramah lingkungan,” tandasnya. Dia mengaku penghapusan BBM Ron 88 akan membuat masyarakat terkaget-kaget karena biasanya hanya membayar Rp 8.500 perliter menjadi Rp 10-11 ribu per liter. Namun dia berharap Pemerintah bisa memilah-milah jenis kendaraan apa yang tetap mendapat subsidi dari Pemerintah. “Itu perlu dipikirkan oleh Pemerintah apakah itu untuk kendaraan umum, sepeda motor atau kendaraan jenis-jenis tertentu,” sambungnya.. Mengenai perubahan nozzle pada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), menurut Jong­kie, tidak lagi diperlukan sebab de­ngan dihilangkannya BBM Ron 88 otomatis tidak ada lagi pili­han bagi pemilik ken­daraan untuk tidak membeli BBM Ron 91 keatas. Sedangkan ba­gi yang mendapat subsidi per­lu dipikirkan lagi cara pe­nya­­­lurannya. (dim/aph/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: