Menteri Diinstruksi Jaga Rupiah

Menteri Diinstruksi Jaga Rupiah

Perbaiki Koordinasi, Atasi Juga Defisit APBN Perubahan Rp142 Triliun JAKARTA- Kondisi kurs rupiah yang masih terpuruk menjadi pekerjaan rumah para menteri bidang ekonomi yang baru, hasil reshuffle. Presiden Joko Widodo telah menginstruk­sikan mereka agar fokus menjaga rupiah agar tetap ter­kontrol. “Yang paling uta­ma sekarang, persoalan currency (mata uang, red) yang harus diperhatikan,” beber Sekre­taris Kabinet Pramono Anung, di kompleks Istana Kepreside­nan, Jakarta, kemarin (13/8). Selain persoalan kurs rupiah, lanjut dia, presiden juga memberi arahan pada para menteri bidang ekonomi yang baru agar juga mencari jalan mengatasi masalah defisit anggaran. Hingga semester I 2015, APBN-P 2015 mencatat defisit sebesar Rp142 triliun. “Intinya, presiden instruksikan pada para menteri barunya memperbaiki koordinasi agar semua keadaan menjadi lebih baik,” imbuh Pram -sapaan akrabnya-. Anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menambahkan, keputusan presiden melakukan reshuffle memang salah satunya didasari dinamika global dan nasional terkait ekonomi, terkini. Presiden, menurut dia, menginginkan kinerja kabinet kerja lebih solid, kuat, dan efektif menghadapi situasi yang ada. “Diharapkan belanja pemerintah juga bisa diperbaiki,” imbuh Teten. Upaya meningkatkan belanja pemerintah itu, kata dia, penting untuk mendongkrak daya beli masyarakat. “Faktanya, daya beli masyarakat di kuartal II kan tidak terlalu signifikan,” tandasnya. Prioritas lainnya yang perlu diperhatikan kabinet kerja saat ini adalah upaya maksimal menarik investasi. Salah satunya dengan memberikan kemudahan berinvestasi lewat regulasi dan semacamnya. Lalu, bagaimana melihat perombakan kabinet yang ter­nyata belum secara signi­fikan direspons positif pasar? Teten kembali menunjuk situa­si global yang juga perlu diper­hatikan. Reshuffle kabinet, tegas dia, memang tidak bisa serta-merta mengangkat rupiah mau­pun indeks harga saham gabu­ngan (IHSG). “Faktor (gejala global) ini real. Karena itu, reshuffle diharapkan bisa lang­sung selesaikan masalah ekonomi itu nggak mungkin,” tuturnya. Meski demikian, dia yakin, reputasi para menteri bidang ekonomi yang baru dalam proses kedepan akan bisa mengatasi persoalan ekonomi. “Paling tidak, bisa arahkan pembangunan ekonomi masa depan jadi lebih baik,” tandasnya. Dari internal PDIP sebagai partai utama pemerintah, tantangan kepada para menteri bidang ekonomi yang baru untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik, juga dilayangkan. Tak terkecuali, kepada Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang selama ini dikenal sebagai sosok kritis. “Pak Rizal Ramli yang dulu pernah mengritik agar Jokowi jangan ludrukan (pertunjukan drama hiburan khas Jawa Timur, red) terus, sekarang punya kesempatan. Tunjukkan pula bersama yang lain, kurs rupiah bisa dikembalikan ke titik aman,” kata anggota Komisi VII DPR Falah Amru. Seperti halnya kalangan istana, dia juga memandang, kalau reshuffle tidak bisa otomatis menyelesaikan situasi ekonimi terkini. Kinerja yang baik dan maksimal yang nantinya bisa membawa perekonomian Indonesia jadi lebih baik. “Prinsip, komposisi kabinet yang baru perlu membuat tero­bosan-terobosan,” katanya. Keluar dari Fundamental Devaluasi Yuan yang mem­berikan tekanan kuat terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menjadi fokus utama Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Forum itu dihadiri pimpinan empat lembaga keuangan, antara lain Menkeu Bambang Bro­djoengoro, Gubernur BI Agus Martowardojo, Ketua De­wan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Ha­dad, dan Ketua Dewan Ko­mi­sioner Lembaga Penjamin Sim­­panan (LPS) C. Heru Budiargo. Dalam forum tersebut, disepakati bahwa nilai tukar rupiah saat ini tidak mencerminkan nilai fundamen­talnya (undervalued). Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, penyebab utama, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dalam dua hari terakhir adalah depresiasi mata uang Yuan. Sementara tekanan pada pasar saham dan pasar Surat Berharga Negara (SBN), merupakan kombinasi antara sentimen negatif eksternal, serta proyeksi kinerja emiten yang lebih rendah daripada ekspektasi investor. “Untuk itu, FKSSK sepakat untuk memperkuat koordinasi kebijakan untuk mengatasi perma­salahan di pasar keua­ngan dan pelemahan nilai tukar,” papar Bambang dalam kon­ferensi pers di Gedung Kemen­keu, kemarin (13/8). Meski begitu, Bambang mene­kan­kan, kondisi makro ekono­­mi Indonesia terkendali meski ada tan­tangan besar dari ekster­nal maupun domestik. Stabili­tas ke­uangan Indonesia juga masih terjaga dan terkendali. “Hal tersebut terlihat dari indikator surveilance BI, OJK, LPS dan Kementrian Keuangan yang masih berada pada kondisi terkendali. Namun, FKSSK akan meningkatkan kewaspadaan khususnya terkait tekanan pada pasar keuangan dan nilai tukar,” jelasnya. Dia melanjutkan, untuk mengatasi goncangan terhadap nilai tukar dan menjaga stabilitas pasar keuangan, ada dua kebijakan jangka pendek yang bisa dilakukan. Yakni, kebijakan untuk meningkatkan investasi dari pemerintah dan swasta serta kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat untuk menjaga konsumsi domestik. Gubernur BI Agus Marto­wardojo mengungkapkan bahwa fenomena tidak me­nyenang­kan soal penguatan dolar AS terus memberi tekanan pada rupiah dengan depresiasi 2,47 persen (qtq). Hal tersebut terutama dipicu kekhawatiran kenaikan suku bunga acuan The Fed dan penyelesaian krisis Yunani. Belum usainya sentimen spekulasi penye­suaian Fed Fund Rate tersebut dilanjutkan dengan devaluasi mata uang Yuan yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Praktis, hal tersebut justru semakin memberikan tekanan lebih dalam bagi rupiah. Negeri Tirai Bambu tersebut dengan sengaja mendepresiasi Yuan sebesar 1,9 persen terhadap dolar AS pada 11 Agustus 2015. Kemudian kembali melemahkan mata uangnya 1,6 persen di 12 Agustus 2015. “Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menggembirakan di kuartal II 2015, tapi indikator ekonomi seperti inflasi, defisit neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan dalam kondisi lebih baik,” terangnya. Parahnya lagi, lanjutnya, kebijakan pemerintah Tiongkok tersebut berdampak negatif terhadap pergerakan mayoritas mata uang negara-negara di dunia, tak terkecuali rupiah. “Rupiah sampai 12 Agustus 2015, terdepresiasi 10,16 persen atau lebih besar dari pelemahan mata uang Korea 8,35 persen, Thailand 6,62 persen dan Yen Jepang 3,96 persen. Tapi pelemahan rupiah lebih rendah dibanding depresiasi mata uang Malaysia 13,16 persen, Turki 16 persen lebih, Brasil 29,4 persen, dan Australia 10,16 persen,” jelasnya. (dyn/ken/dee)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: