BI Mati-matian Jaga Rupiah

BI Mati-matian Jaga Rupiah

Kian Mendekati Level Rp14.000 Per Dolar AS JAKARTA- Pergerakan nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan dan melemah mendekati level Rp 14.000. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin (18/8) rupiah di tutup di level Rp 13.831. Penutupan tersebut melemah 68 poin dari perdagangan pekan lalu (14/8) yang berada di level Rp13.763. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai cara untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. “BI tidak hanya khawatir. Kita sudah mati-matian menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kalau kita katakan BI terus berada di pasar melakukan langkah stabilisasi intervensi, ya itulah yang dilakukan BI untuk menjaga stabilitas  nilai tukar,” urainya di Jakarta, Selasa (18/8). Perry mengungkapkan bahwa dengan seluruh instrumen yang dimiliki BI dan berbagai intervensi baik di pasar valas maupun sektor keuangan lainnya, diharapkan dapat mengembalikan lagi kekuatan rupiah. Sebab, pergerakan rupiah akhir-akhir ini dianggap cukup dalam (overshoot) dan berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalued). “Jadi BI setiap hari ada operasi moneter. Bisa fiskal bisa nambah likuiditas untuk menjaga kecukupan likuiditas di sistem keuangan kita. Operasi moneter kami ada Repo, SBI, ada FX Swap jangka pendek di pasar. Instrumen-instrumen ini akan terus kami optimalkan,” jelas Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara. BI juga belum dapat memastikan sampai kapan kondisi pelemahan mata uang ini akan berlanjut. Sebab, kondisi global yang juga tidak menentu terus menjadi ancaman utama pada stabilitas sistem keuangan dan nilai tukar. Di sisi lain, salah satu langkah konkret yang diambil oleh BI yakni dengan tetap menahan suku bunga acuannya (BI rate) di level 7,5 persen. Meski cenderung dilematis, tapi langkah tersebut dianggap sebagai upaya antisipasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan bahwa langkah BI menahan suku bunga merupakan langkah yang tepat. “Sebab di awal tahun ini BI sempat menurunkan BI rate-nya, hal itu malah membuat rupiah melemah. Awalnya di kisaran Rp12.500, namun setelah BI rate turun malah anjlok jadi di kisaran Rp13.800 seperti sekarang,” tuturnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group). David menilai bahwa pelemahan rupiah kemarin (18/8) yang menyentuh level Rp 13.831 tidak semata-mata dipengaruhi oleh sentimen eksternal, melainkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan kondisi surplus neraca perdagangan namun tidak sehat. Sebab,  surplus senilai USD 13,3 miliar yang dicap sebagai tertinggi dalam 19 bulan terakhir tersebut mencatat penurunan impor lebih besar dari kinerja ekspor akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurut data BPS, ekspor/impor Juli turun 15 persen dibandingkan Juni. Untuk ekspor turun dari USD 11,41 miliar menjadi USD 13,5 miliar dan impor turun dari USD 12,9 miliar menjadi USD 10,07 miliar. Penyebab turunnya capaian tersebut adalah pelemahan nilai tukar rupiah terjadap dolar. Pelemahan mata uang yang hampir dialami seluruh negara tersbeut membuat adanya penekanan dalam capaian impor. “Kalau pelemahan rupiah pekan lalu memang faktor utamanya adalah devaluasi yuan. Tapi kalau hari ini (kemarin) faktor utamanya adalah sentimen soal data neraca perdagangan yang meski mencatat surplus namun tidak sehat. Bisa juga dilihat sebagai sinyal yang tidak baik,” ujarnya. David mengungkapkan bahwa langkah pemerintah dan otoritas moneter sudah cukup tepat, termasuk dalam hal menjaga BI rate  di level 7,5 persen. Sebab, hal tersebut dianggap dapat memberikan stimulus stabilisasi nilai tukar. “Memang pemerintah maupun BI juga harus hati hati mengambil langkah. Sebab, kondisi global masih  terus membayangi stabilitas nilai tukar maupun pertumbuhan ekonomi. Tapi, sekarang yang harus diutamakan yakni nomor satu stabilitas, baru setelah itu pertumbuhan ekonomi,” tutupnya. (dee)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: