Satu Jenazah Harus Dibopong 12 Orang
Proses Evakuasi Cukup Sulit, Tim Penyelamat Jalan Kaki 5 Jam JAKARTA- Di tengah kesibukan masyarakat berspekulasi tentang penyebab jatuhnya pesawat Trigana Air, tim SAR gabungan tetap fokus pada upaya evakuasi korban. Setelah berlomba dengan waktu dan cuaca, tim akhirnya berhasil membawa 31 jenazah keluar dari titik jatuh pesawat jenis ATR-42 itu. Deputi Bidang Operasi SAR Basarnas Mayjen TNI Heronimus Guru menuturkan, proses itu pun tidak mudah. Sebab, evakuasi harus dilakukan melalui jalur darat. Hal ini dikarenakan buruknya cuaca di Distrik Oksibil hingga siang hari. ”Kabadan langsung memutuskan evakuasi lewat darat,” tuturnya di Jakarta, kemarin (19/8). Dalam evakuasi jalur darat ini, satu jenazah sampai harus digotong oleh 10-12 orang. Proses pemindahan menuju camp site pun harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Mereka harus menggotong selama kurang lebih lima jam menuju titik yang ditentukan tersebut. Sampai di sana, jenazah baru dipindahkan menggunakan kendaraan menuju RS Oksibil. “Kendaraan pun terbatas,” kata dia lagi. Meski demikian, tim SAR gabungan dengan dibantu warga tidak putus asa. Proses evakuasi terus dilakukan hingga pukul 15.45 WIT. Tercatat sebanyak 31 kantung jenazah yang berhasil dikeluarkan dari lokasi kejadiaan. “Empat kantung jenazah dibawah kembali ke Jayapura bersama dengan Kabadan untuk diserahkan ke RS kepolisian,” katanya. Di sisi lain, pihak Basarnas juga telah menyerahkan kotak hitam atau black box pesawat pada Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Namun, black box yang diserahkan masih belum lengkap. Sebab, black box hanya berisi perekam suara kokpit atau cockpit voice recorder (CVR). Sementara, perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR) belum ditemukan. “Kita masih terus lakukan pencarian. Kita kerahkan sekitar 20 personil untuk mencari FDR ini,” tegasnya. Sementara itu, kecelakaan yang menimpa Trigana Air ini seolah menjadi trigger bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk bergegas memperbaiki navigasi di Papua. Direktur Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengungkapkan, pihaknya akan segera membuat sistem prosedur khusus untuk penerbangan di provinsi paling timur itu. Dalam sistem tersebut, lanjut dia, ada beberapa aturan baru yang wajib dipatuhi. Seperti, lisensi pilot untuk wilayah Papua serta kelengkapan navigasi dengan basic GPS. Diakuinya, selama ini penerbangan di daerah-daerah pedalaman Papua masih menggunakan cara visual. Penerbangan hanya mengandalkan kompas dan penglihatan mata. Sehingga, tak jarang penerbangan terganggu bila cuaca buruk. “Penggunaan visual ini tidak dilarang. Di Jakarta pun, hal ini sering dilakukan oleh pilot helikopter. Namun, mengingat topografi Papua yang ekstrem maka hal ini akan diubah ke teknologi instrument on board,” jelasnya. Meski demikian, dia menampik jika selama ini tidak ada alat kenavigasian di sana. Dia mengungkapkan, alat-alat kenavigasian sudah disediakan dengan basic sinyal radio. Namun sayangnya, sinyal tersebut sulit ditangkap akibat lokasi yang berbukit. “Karenanya akan kita ganti dengan yang menggunakan teknologi data satelit dan sistem transmisi digital,” pungkasnya. (mia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: