Urgensi Pendidikan Akhlakul Karimah

Urgensi Pendidikan Akhlakul Karimah

PENDIDIKAN bukan sekadar proses memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari pendidik (guru) kepada peserta didik. Lebih daripada itu, pendidikan merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan untuk memberikan segala inspirasi dan penamanan karakter luhur (akhlakul karimah dan spiritualitas) tentang bagaimana menjalani kehidupan. Maka dari itu tidak mengherankan jika pendidikan merupakan dimensi dalam kehidupan yang harus mendapatkan prioritas pertama dan utama ketimbang dimensi-dimensi lain dalam kehidupan. Pendidikan sendiri menyangkut investasi masa depan regenerasi dan nasib bangsa ke depan. Pendidikan tidak hanya berbicara untuk konteks sekarang, melainkan juga masa depan. Rapuh tidaknya kekuatan sebuah bangsa akan sangat ditentukan oleh rapuh tidaknya kualitas pendidikannya. Makna luhur tentang pendidikan tersebut tentu saja kita amini dengan kompak dan saksama. Tetapi manakala kita sandingkan dengan realitas pendidikan bangsa hari-hari ini, realitas pendidikan yang masih saja penuh dengan tindak destruktif, hanya akan membuat kita sekalian miris. Tindak destruktif itu tentu saja beragam dan dilakukan oleh banyak stakeholder pendidikan. Pendidikan kita masih saja berpolemik dalam soal kurikulum, sekolah-sekolah yang roboh, belum adanya pemerataan pendidikan, dikotomi guru PNS dan honorer, dan lain sebagainya. Islam tentang Akhlakul Karimah Tidak bijak kalau membahas pendidikan tidak melibatkan inspirasi dari Islam. Islam sungguh merupakan agama universal, karena Islam untuk rahmatan lil’alamin (kasih sayang bagi alam semesta). Kerahmatan Islam itu sendiri tidak lain adalah akhlakul karimah. Sebuah hadits Nabi Saw yang terkenal menyatakan, “Tidaklah aku (Muhammad) diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” Akhlakul karimah itu la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat (tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun), ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh (melintasi batas ruang dan waktu) dan ‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana (melekat dan berlaku bagi setiap manusia dulu dan kapan pun berada). Imam al-Ghazali (450 H-1111 M) salah seorang pengarang kitab Ihya ‘Ulumuddin menyebut bahwa akhlak merupakan sifat dan gambaran jiwa (hai’ah al-nafs wa shuratuha al-bathinah). Pendidikan karakter yang sempat ramai dibicarakan oleh para ahli dan praktisi pendidikan sampai hari ini adalah tidak lain cerminan dari pendidikan akhlakul karimah yang bersumber dari Islam. Merujuk pada buku “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” (2014) karya Lany Oktavia, dkk, setidaknya pendidikan akhlakul karimah harus mencakup beberapa poin berikut ini; tentang cinta tanah air, kasih sayang, cinta damai, toleransi, kesetaraan, musyawarah, kerjasama, kepedulian, tanggung jawab, penghargaan, kemandirian, kesungguhan, kejujuran, rendah hati, dan kesabaran. Begitu pentingnya pendidikan akhlakul karimah, saya selalu mengkritik setiap kebijakan dalam pendidikan nasional yang sampai hari ini masih saja menitikberatkan pada kemampuan intelektual (akademik). Pendidikan yang selama ini berjalan tidak lebih dari sekadar pengajaran. Apalagi sistem evaluasi pendidikan kita masih saja mengandalkan tes-tes formal-akademik; UTS, UAS, dan UN. Tidak ada yang keliru sebenarnya dengan pelaksanaan UTS, UAS, dan UN kalau kedudukan bentuk evaluasi itu hanya digunakan untuk mengukur dan melakukan pemetaan terhadap kualitas akademik peserta didik. Penitikberataan hanya pada aspek intelektual-akademik hanya akan membuat para peserta didik terbebani, belajar bukan karena kebutuhan dan panggilan nurani. Melalui inspirasi akhlakul karimah, pendidikan sejatinya mesti mengedepankan potensi dan kecerdasan peserta didik yang majemuk itu. Sekolah atau lembaga pendidikan yang lain seharusnya menjadi tempat belajar yang menyenangkan dan membebaskan para peserta didik. Lembaga pendidikan seharusnya menampung dan mengakomodir setiap potensi para peserta didik. Urgensitas pendidikan akhlakul karimah hanya bisa dibuktikan kalau lembaga pendidikan tidak lagi “mendewakan” kecerdasan intelektual-akademik, tetapi mengedepankan kecerdasan emosional dan spiritual. Keteladanan Alquran sendiri telah lama memberikan inspirasi untuk melaksanakan pendidikan berspiritkan keteladanan. Misalnya QS Al-Ahzab [33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Senada dengan itu, dalam QS Al-Mumtahanah [60]: 6, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Sangat besar kemungkinan mengapa kemudian pendidikan nasional belum bisa bangkit dan menoreh kemajuan adalah karena hilangnya keteladanan. Keteladanan ini sebagai turunan dan perwujudan dari seseorang yang menjiwai betapa akhlakul karimah menempati urutan pertama dan utama dalam pendidikan. Oleh karena itu demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas maka hal utama yang harus dilakukan oleh seluruh stakeholder dan civitas akademika pendidikan adalah mengembalikan pendidikan pada proses, bukan hasil, yakni proses pendidikan yang bersendikan akhlakul karimah dan keteladanan. Mulai dari kepala sekolah, para wakil kepala sekolah, guru, dan lain-lain harus memberikan teladanan kepada peserta didiknya. Semua pihak terutama kepala sekolah dan guru harus mau terjun ke bawah, langsung berhadapan dengan para peserta didik. Mendidik dan menyayangi mereka sepenuh hati. Dalam hal kebersihan misalnya, kepala sekolah dan guru tidak hanya menyuruh, berdiam diri, dan mengawasi saja, melainkan harus ikut bersama melaksanakan aktivitas bersih-bersih secara rutin dan berkelanjutan di sekitar lingkungan sekolah. Sehingga akan terlihat ada kepala sekolah dan para guru yang mau bersama memungut sampah, menyapu halaman, membersihkan toilet, dan lainnya bersama para peserta didik. Semua komponen sekolah harus disiplin datang dan pulang dengan tepat waktu, semua sanksi berlaku bagi siapapun, termasuk bagi kepala sekolah dan guru. Adapun maksud dari keteladanan itu tentu saja harus menyeluruh dan menyentuh segala aspek. Setidaknya ada tiga aspek yang harus menjadi poros keteladanan. Pertama, keteladanan intelektual. Kepala sekolah dan para guru harus bisa membangun sebuah iklim intelektual yang baik. Aktivitas membaca, menulis, dan melakukan kajian ilmiah menjadi aktivitas yang wajib dilakukan oleh semua civitas akademika, terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Keteladanan dalam ranah ini penting karena penyampaian materi pelajaran di kelas bukanlah proses keteladanan intelektual yang sebenarnya. Karena yang sulit adalah membangun para peserta didik yang sadar akan kebutuhan intelektual atas panggilan hatinya. Mustahil para peserta didik akan memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya kecerdasan intelektual tanpa ada keteladanan dari kepala sekolah dan gurunya. Kedua, keteladanan emosional. Kepala sekolah dan para guru harus bisa menjadi teladanan bagi peserta didik dalam hal kecerdasan emosional. Sehingga tidak akan ditemukan lagi seorang kepala sekolah yang tugasnya hanya duduk manis di kantor, tanda tangan, rapat, dan aktivitas formal lain sejenisnya sementara tidak pernah peduli akan perkembangan emosional peserta didik. Hal-hal yang mencakup dalam kecerdasan emosional adalah tentang bagaimana cara kepala sekolah dan para guru berinteraksi dan berkomunikasi dengan para peserta didik. Termasuk bisa mengikuti perkembangan arus teknologi, terutama berbagai jenis jejaring sosial (facebook, twitter, dlsj). Seorang guru harus punya kecakapan ini, agar ia bisa mengikuti bagaimana perkembangan dan pergaulan para remaja dan pemuda. Seorang guru yang juga bisa menjadi sahabat dekatnya para peserta didik. Ketiga, keteladanan spiritual. Sebagai guru, modal yang harus diutamakan dalam menunaikan pengabdian adalah menekankan pentingnya melatih kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku, tindakan dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya, manusia yang cenderung pada kebenaran (hanif) dan memiliki pola pikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip hanya kepada Allah. (Ari Ginanjar Agustian, 2004: 57). Di sekolah-sekolah biasanya ada kegiatan shalat dhuhur berjamaah, shalat dhuha bersama, tilawah Alquran, sedekah, dan lain sejenisnya , maka para guru harus menjadi teladan bagi para peserta didiknya. Melalui akhlakul karimah dan keteladanan, para guru sepatutnya juga tidak memposisikan siswa sebagai objek belaka, tetapi menjadi subjek. Pembelajaran yang dilaksanakan juga harus didesain dengan kreatif dan menyenangkan, tidak hanya mengandalkan metode pembelajaran ceramah. Guru juga harus melek, tidak malah sebaliknya gaptek (gagap teknologi). Guru juga harus siap mental untuk tidak mudah tersulut emosi, amarah, dan apalagi melakukan kekerasan. Pembenahan pada kurikulum, manajemen, administrasi, metode pembelajaran, ketegasan peraturan, dan lain sebagainya juga harus diupayakan. Akhirnya, tantangan kita menjadi semakin berat dalam mengawal pendidikan nasional. Tanpa akhlakul karimah pendidikan akan kehilangan ruhnya. Itulah barang kali mengapa kemudian pendidikan nasional masih saja diliputi banyak masalah; kurikulum yang belum mapan, belum meratanya pendidikan, maraknya aksi brutal pelajar, tingginya angka putus sekolah, dan lain sebagainya. Wallahua’lam bis-Shawab. *) Penulis adalah Khadimul Ma’had Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin, Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: