Semarak Festival Gotroksawala Jadi Parodi Gotrasawala
CIREBON - Sejumlah seniman menggelar Festival Gotroksawala, Sabtu-Minggu (13-14/8). Gotroksawala merupakan parodi saat Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) menggelar Festival Gotrasawala, Jumat-Minggu (12-14/8). Meski parodik, Gotroksawala yang dilangsungkan di Kantin Cirebon, Jalan Majasem, Kota Cirebon, menyajikan suguhan serius. Mulai diskusi, pembacaan puisi, tarian topeng Cirebon, hingga perkusi. Diskusi menjadi pembuka sesi pembuka Gotroksawala, Sabtu (13/8). Diskusi mengulas sumbangsih rakyat jelata (Cirebon) bagi kemerdekaan Indonesia dahulu dan sekarang. Saat yang sama, Gotrasawala juga mengadakan acara rembuk raja-raja se-Nusantara. Di dalamnya digelar seminar tentang kontribusi raja-raja se-Nusantara bagi kemerdekaan Indonesia. Hadir sebagai pembicara diskusi Gotroksawala, Akbarudin Sucipto dari Amparan Jati, Jamaludin Mohammad dari Komunitas Seniman Santri (KSS). Sementara Nissa Rengganis dari Rumah Kertas (RK) menjadi moderator. Terkait Gotrasawala yang dilangsungkan DKJB, kedua narasumber Gotroksawala itu sepakat bahwa bukan peristiwa kebudayaan. Tapi tidak beda dengan tradisi semisal sedekah bumi dan nadran. \"Jika ingin mengembalikan spirit Wangsakerta, mestinya Gotrasawala merumuskan strategi kebudayaan untuk Cirebon ke depan. Minimal merumuskan isu-isu (kebudayaan, red) strategis terkait kecirebonan,\" kata Jamaludin. Jamaludin mengetangahkan Perang Kedongdong sebagai peristiwa perlawanan rakyat yang tidak tercatat sejarah nasional. Padahal, peristiwa peperangan berlangsung 12 tahun, dari 1806-1818 Masehi. Berbeda dengan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang berlangsung 1825-1830 Masehi. Meski peristiwa peperangan hanya lima tahun tapi tercatat sebagai sejarah nasional. \"Tampaknya, karena perang Kedongdong lahir dari pergolakan rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Belanda saat itu. Sehingga tidak dianggap penting,\" kata Jamaludin. Menurut Akbarudin, tidak hanya Perang Kedongdong, sejarah keraton Cirebon saja masih banyak masalah dan gelap. Bahkan 1.700 naskah yang ditulis Pangeran Wangsakerta dalam peristiwa Gotrasawala abad ke-17 Masehi saat ini hanya tinggal beberapa saja. \"Sehingga salah jika hanya dengan tiga hari saja, acara Gotrasawala sudah go internasional. Karena kerja Wangsakerta mengumpulkan naskah tidak sederhana,\" katanya. Selesai diskusi tidak lantas berhenti, apresiasi panggung Gotroksawala yang sejak siang hingga malam hari semakin semarak. Akbarudin juga menampilkan macapatan seputar kritik Gotrasawala. Setelahnya, pembacaan puisi dan musikalisasi puisi dari sejumlah penyair. Kemudian pertunjukan tari topeng Cirebon; topeng Samba, yang ditampilkan Silfia. Kemudian pertunjukan seni populer yang dibawakan sejumlah musisi lokal. Bahkan, Mohammad Sobari yang datang lebih awal dari Jakarta langsung menyampaikan orasi kebudayaan. \"Saya hadir di sini (Gotroksawala, red) merupakan pilihan yang tepat,\" tukas budayawan nasional itu. Sobari menjadi pembicara bedah buku Gotroksawala hari ini yang tengah berlangsung. Dia membedah buku \"Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau di Temanggung,\" yang merupakan karya risetnya. (hsn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: