Minim Penelitian, Dosen Indonesia Kebanyakan Mengajar
JAKARTA – Minimnya publikasi ilmiah dan invoasi para dosen, ternyata berawal dari kinerja sehari-hari. Hasil kunjungan singkat diaspora ilmuan ke perguruan tinggi negeri (PTN) menyimpulkan, waktu dosen habis untuk mengajar. Sehingga fungsi dosen sebagai peneliti dan inovator tidak bisa berjalan maksimal. Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengakui sebagian besar waktu dosen di kampus memang habis untuk mengajar dan kegiatan administrasi lainnya. Sementara hasil paparan dari para diaspora menyebutkan, di luar negeri para dosen justru kosentrasi pada riset, publikasi, dan inovasi. “Saya akui di Indonesia itu lebih banyak mengajar lebih banyak income,” jelasnya di Jakarta kemarin. Sementara pengakuan dari diaspora yang tinggal di Inggris menyebutkan, kegiatan mengajar para dosen memang menjadi perhitungan kinerja. Namun perhitungan kinerja dari mengajar tidak menjadi pertimbangan pemberian tunjangan kinerja. Ghufron mengatakan Kemenristekdikti akan menata sistem pengajaran di kampus. Sehingga konsentrasi dosen tidak melulu pada mengajar. Namun juga menaruh perhatian pada urusan riset, publikasi, serta berinovasi. Upaya ini tidak mudah karena harus berkoordinasi dengan Kementerian PAN-RB terkait kepegawaian dan Kementerian Keuangan terkait gaji serta tunjangan. Melalui program visiting world class professor itu, Ghufron mengatakan terbentuk jejaring komunikasi antara dosen lokal dengan diaspora ilmuwan. Sehingga bisa terbentuk publikasi atau riset bersama. Dengan demikian bisa mendongkrak jumlah publikasi akademisi Indonesia. Mantan Wamenkes itu menjelaskan cara lain menggiring dosen ke laboratorium adalah menata ulang pemberian tunjangan guru besar. Dia menjelaskan penataan ulang tunjangan guru besar ini berlaku Desember 2017 atau Januari 2018. Penataan ini adalah, pemberian tunjangan guru besar berbasis publikasi ilmiah internasional. “Guru besar atau calon guru besar yang tidak membuat publikasi, tunjangan kehormatannya kita kurangi. Bahkan kalau perlu distop,” jelasnya. Para guru besar diberi waktu mulai Januari 2017 untuk melakukan riset sampai publikasi internasional. Dia berharap aturan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para guru besar di seluruh Indonesia. Diaspora ilmuwan dari Amerika Serikat Deden Rukmana mengakui setelah berkunjung ke Riau, mengetahui bahwa kultur akademik cenderung mengajar. “Padahal di kampus banyak data-data yang potensial untuk menjadi penelitian unggulan,” kata dosen Savannah State University, AS itu. Dia berharap kerjasama antara Kemenristekdikti, perguruan tinggi, dan diaspora itu berjalan dalam jangka panjang. Sehingga setiap perguruan tinggi dapat meningkatkan gairah riset di kampus masing-masing. “Kami sebagai diaspora ingin melihat tanah air maju,” jelasnya. (wan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: