Ulah Perampok Pangan, Harga Sembako Meroket

Ulah Perampok Pangan, Harga Sembako Meroket

HARGA pangan kerap kali tidak terkendali. Harga daging sempat menerabas Rp 200 ribu Januari lalu. Harga Bawang putih terkerek Rp 65 ribu pekan lalu. Ternyata, banyak kerawanan dalam rantai distribusi pangan. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan harga pangan membuat berbagai kerawanan menyeruak dalam setiap tahap distribusi pangan. Salah satunya pada kasus cabai rawit merah yang terungkap Maret lalu. Diketahui dalam tingkatan distributor besar ada masalah, yakni monopoli. Rantai distribusi cabai rawit merah dari petani ke tungkulak, lalu dilanjutkan pada distributor besar hingga ke pedagang pasar dan eceran. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya menjelaskan, dari tahap petani, jumlah orangnya mencapai jutaan orang. Tengkulak berkisar ratusan ribu orang. “Tahu kan berapa orang yang ada di tahapan distribusor besar ini? Hanya tujuh orang,” tuturnya. Dengan hanya tujuh orang ini, maka tahapan ke pasar dan eceran sangat mudah dikendalikan. Maka, saat ada pengalihan pasokan dari pasaran ke industri juga merupakan keputusan dari tujuh orang distributor besar tersebut. “Mereka mengambil untung dengan tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat,” jelasnya. Menurutnya, negeri sebesar Indonesia ini ternyata bahan pangannya dikuasai segelitir orang tentu sangat tidak adil. Monopoli begitu rentan terjadi dalam distribusi cabai rawit merah tersebut. “Ini di tahapan distributor,” ujarnya. Berbeda lagi kasusnya dengan rantai distribusi bawang putih. Diketahui, bawang putih sempat menembus Rp 65 ribu. “Lalu, ternyata ada pengungkapan kasus PT LBU yang menimbun 182 ton bawang putih impor asal Tiongkok dan India,” jelasnya. Pertanyaannya, mengapa ada penimbunan bawang putih impor, tapi harga bawang putih sudah terkatrol naik. Dia menjelaskan, kalau bawang putih impor atau asal luar negeri seharusnya harga bawang putih tidak terpengaruh. “Karena masih ada pasokan dari lokal dan pasokan di pasar tidak ditimbun,” jelasnya. Namun, ternyata kondisinya berbeda. Perampok-perampok pangan ini mengondisikan harga dengan indikasi upaya menahan pasokan bawang putih ke pasar. Sekaligus dengan menyebarkan informasi naiknya harga bawang putih. “Saat itulah kemudian masyarakat terpicu untuk menaikkan harga bawang putih,” paparnya. Agung mengatakan, saat harga bawang putih itu sudah naik, maka itulah momentum yang ditunggu pelaku impor bawang putih ilegal tersebut. “Mereka berupaya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan menggelontorkan bawang putih,” jelasnya. Bahkan, spekulan besar ini ada yang bersandiwara dengan seakan-akan menggelontorkan bawang putih dengan harga murah. Namun, itu hanya sebagian kecil dari bawang putih yang dimilikinya. “Sebagian besarnya dikeluarkan dengan harga selangit,” tuturnya. Selain itu, yang juga penting Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menunjuk 42 perusahaan untuk mengendalikan harga bawang putih. Salah satunya, PT LBU yang tertangkap menimbun. “Tentu akan dilihat, apakah juga ada monopoli dalam bawang putih tersebut. Sehingga, PT LBU bisa menimbun dari impor yang waktunya dekat dengan kenikan harga bawang putih,” ujarnya. Dia menuturkan, untuk kasus cabai rawit merah dan bawang putih itu berada di dalam rantai distribusi pangan. Namun, ternyata di luar rantai distribusi itu terdapat masalah yang juga potensial menaikkan harga. Yakni, pungutan liar. “Pungli ini terjadi di Pasar Induk Kramatjati,” paparnya. Ada sejumlah pungli yang terjadi di Pasar Induk Kramatjati. Misalnya parkir liar dan pungli bongkar muat. Mereka bahkan menentukan tempat pembongkaran bahan pangan. “Mereka dengan cara memaksa untuk mendapatkan uang,” jelasnya. Hasilnya, sangat mudah ditebak, pedagang akan menambahkan biaya itu pada biaya transportasi. Karena itu bahan pangan yang dijual akan dinaikkan karena ada pungli tersebut. “Setelah dicek, pungli ini bisa menaikkan harga bawang putih sekitar Rp 8 ribu hingga Rp 10 ribu per kilogram,” jelas Agung. Dengan semua kasus tersebut, sebenarnya masalah utamanya adalah kemampuan dari para stakeholder dalam mengidentifikasi penyimpangan dan modus-modusnya. ”Dengan kurangnya kemampuan identifikasi, maka tindakan konkret agar kenaikan harga tidak terjadi sulit dilakukan,” paparnya. Agung menjelaskan, ada berbagai indikasi masalah dalam setiap tahap distribusi. Maka, langkah yang perlu dilakukan adalah memetakan pelaku usaha dan masalahnya dalam rantasi distribusi pangan. “Saat semua sudah diketahui, maka langkah konkretnya mudah dilakukan. kalau sudah tahu produsen, distributornya siapa, kenaikan harga bisa dirunut penyebabnya,” jelasnya. (idr/tau/JPG)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: