Lonceng Teror Dunia Pernah Dianggap Keramat karena Aceh Banjir

Lonceng Teror Dunia Pernah Dianggap Keramat karena Aceh Banjir

LONCENG Cakra Donya atau dikenal juga dengan sebutan Lonceng Teror Dunia hingga kini bisa dijumpai di Museum Aceh. Digantung dengan rantai di bawah kubah yang dibuat khusus di halaman depan sebelah kiri museum. Sayang, karena dimakan usia dan diletakkan di tempat terbuka, ukiran tulisan Arab dan Mandarin di bagian luar lonceng mulai kabur dan berkarat. “Orang Aceh dulu menyebutnya genta karena suaranya bergetar ke seluruh dunia,” ujar sejarawan Aceh Djamal Sahrif. Pada prasasti yang diletakkan dekat lonceng, tertera tulisan: Penanda Harmonisasi Kesultanan Pasai dengan Dinasti Ming. Abad ke-15, Laksamana Cheng Ho menyerahkan Cakra Donya kepada Sultan Pasai pada saat satu ekspedisi ke Aceh. Nama Cakra Donya diambil dari nama kapal perang Sultan Iskandar Muda yang di atasnya tergantung lonceng tersebut. Cakra berarti kabar dan donya berarti dunia. Cakra Donya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang, pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Setelah tidak lagi dipasang di kapal perang, lonceng raksasa itu diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks istana sultan. Sejak 1915, Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan dibikinkan kubah khusus. Setiap pengunjung museum akan bisa langsung menyaksikannya. Berdasar cacatan dari buku G.L. Tichelman yang berjudul Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng itu dulu pernah dianggap sebagai benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Menurut buku itu, hingga akhir 1915, lonceng tersebut masih digantung di pohon gloendong (pohon kuda-kuda) di sebelah timur masjid. Anak gentanya telah hilang dan sejak 1915 tak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya. Pada 2 Desember 1915, pada masa Gubernur Belanda H.N.A Swart, ada perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon gloendong karena dikhawatirkan pohon tersebut patah dan lonceng bisa rusak. Karena itu, lonceng pun diletakkan di tanah. Lonceng tersebut diturunkan orang-orang Tiongkok karena orang Aceh menganggap lonceng tersebut berhantu. Menurut cerita, orang Tiongkok yang menurunkan lonceng tersebut meminum arak lebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkannya. Setelah lonceng diturunkan, Banda Aceh dilanda banjir besar. Pada 13 Desember 1915, datanglah seorang utusan menghadap Gubernur Swart. Dia memberi tahu bahwa banjir tersebut terjadi karena peletakan lonceng yang tidak pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart, lonceng tersebut kemudian digantung di Museum Aceh. Banjir pun reda pada saat itu. “Tetapi, tahun berikutnya, banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup. Karena itu, hingga sekarang letaknya terpisah (dari museum, red),” jelas Djamal. Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantung lonceng itu. Pada 1939, lonceng yang telah tua tersebut digantung dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Aceh. (*/c5/nw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: