Transportasi Online Harus Berizin

Transportasi Online Harus Berizin

CIREBON – Polemik jasa transportasi online mulai merembet ke Kota Cirebon. Terutama setelah Uber, Grab dan Gojek memulai operasionalnya. Untuk meminimalisasi persoalan membesar, Dinas \\Perhubungan (Dishub) Kota Cirebon meminta penyedia jasa mematuhi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 26/2017 yang efektif berlaku 1 Juni 2017. “Kalau secara izin, semuanya belum berizin. Kalau melihat aturan, harus izin ke pemerintah provinsi,” ujar Kepala Seksi Angkutan Darat Dishub, Yanto Budiarto SAP, kepada Radar, Selasa (4/7). Yanto menyebut, semua penyedia jasa transportasi oberbasis online di Kota Cirebon masih ilegal. Apalagi bila acuannya adalah Permenhub 26/2017 yang mengatur mengenai kepemilikan kendaraan, sarana prasarana dan kelengkapan lain. Kendati demikian, dishub tak berarti diam. Serangkaian sosialisasi juga sudah dilakukan dengan melayangkan surat peringatan kepada perusahaan transportasi online yang beroprasi di Cirebon. Tapi, dia tak menyebut perusahaan mana saja yang dikirimi surat itu. Yanto juga menolak anggapan pemerintah daerah terlambat bergerak. Pasalnya selama ini tidak ada perangkat yang bisa digunakan untuk menindak ataupun pembinaan. Aturan terbaru pun pengaturan kewenangannya ada di provinsi. Dalam penerapan aturan lalu lintas penindakan sudah berulang kali dilakukan. Sesuai laporan yang diterima, ada beberapa tranportasi online terkena razia polisi. “Ini mengingat mereka belum memiliki izin, jadi kan ada sanksinya,\" ungkapnya. Yanto tak menampik kebutuhan transportasi masyarakat memang kian tinggi. Tak hanya dari sisi kuantitas dan ragam jenisnya, fasilitas dan harga juga jadi pertimbangan. Hal ini yang pada akhirnya membuat penyedia jasa online dengan mudah diterima termasuk di Kota Cirebon. “Sesuai dengan kemajuan teknologi, fenomena transportasi online pasti akan diterima di Cirebon. Sayangnya pihak pemilik transportasi online belum mengurus izin secara legal. Itu saja,” tandasnya. Tidak hanya itu, dishub rupanya sudah melakukan komunikasi dengan Organisasi Gabungan Angkutan Daerah (Organda). Dalam pertemuan itu perwakilan angkutan konvensional juga hadir. Masalah regulasi juga dibahas. Termasuk bagaimana nantinya pemerintah provinsi menetapkan regulasi untuk perkembangan ini. “Bisa saja nanti diatur daerah mana saja yang boleh dilalui oleh tranportasi, mana yang nggak boleh. Ini kan memang perlu regulasi,” katanya. Sementara itu, Sekretaris DPC Organisasi Angkutan Darat (Organda) Cirebon, Karsono SH MH menilai, pembiaran akan menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Karsono meminta keadilan. Salah satunya menuntut penyedia jasa taksi dan ojek online menyesuaikan syarat yang diatur dalam Permenhub 32/2016 yang kemudian direvisi menjadi Permenhub 26/2017. \"Kalau mengangkut orang atau penumpang umum itu harus memenuhi persyaratan dan perizinan,\" tegasnya. Karsono tak melarang penyedia jasa taksi atau ojek online beroperasi, tapi mereka juga harus memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah. Ia memahami keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi itu merupakan kebutuhan dan tuntutan perkembangan zaman. \"Saya tegaskan, tidak ada penolakan. Tapi yang namanya angkutan mau online mau nggak, ya harus ikut aturan,” tandasnya. Pria yang malang melintang di dunia jasa transportasi ini mencontohkan persyaratan seperti, STNK yang berbadan hukum, izin operasional, kendaraan harus diuji sebagai dasar kelaikan jalan, identitas kendaraan harus jelas dan memiliki perlindungan terhadap konsumen. Keseluruhan syarat itu tak diikuti transportasi online karena mereka menetapkan standar sendiri. Akhirnya yang terjadi persaingan yang tidak sehat termasuk penggunaan harga per kilometer dan lainnya. Tidak hanya itu, kepastian hukum menjadi pertanyaan besar. Ketika pemilik angkot harus mengurus izin yang berjenjang dan diperbaharui berkala, penyedia jasa berbasis online tak melakukan itu. Bahkan tarif angkot saja diatur pemerintah daerah. “Ini yang jadinya tidak sehat,” ucapnya. Melihat fenomena yang berkembang khususnya di Kota Cirebon, Karsono tidak menyalahkan konsumen yang lebih memilih penyedia jasa angkutan online. Dengan berbagai pertimbangan termasuk harga, jelas mengalahkan yang konvensional. Menyikapi hal ini, ia mengaku sudah melakukan upaya persuasif dengan mengirimkan surat kepada instansi terkait agar dilakukan penertiban. Pihaknya sudah mengirim dua kali surat permintaan penertiban itu namun belum ada respons. \"Sampai sekarang kok belum ada langkah penertiban. Jangan sampai yang memiliki izin tidak dilindungi, tapi yang tidak punya izin kok dibiarkan. Kalau pada batas tertentu, pemerintah diam, jangan salahkan saya kalau para pelaku jasa angkutan umum bertindak,\" katanya. Karsono menilai, pemerintah seolah tutup mata. Ia berharap, pemerintah daerah bisa bijak menanggapi persoalan ini. \"Kita negara hukum, harus sesuai dengan peraturan yang ada ya. Kalau belum ada respons juga, dalam waktu dekat saya akan meminta audiensi dengan walikota dan kapolres,\" tegasnya. Respons atas munculnya tuntutan Organda dan pemberlakuan PP 26/2017 belum dirilis Uber Indonesia. Head of Comunication Uber Indonesia, Dian Saditri yang dihubungi wartawan koran ini tak merespons permintaan konfirmasi. Saat media visit ke Graha Pena Radar Cirebon,Dian juga lebih banyak menjelaskan, kelebihan, fitur dan potensi Cirebon. Ia tak membahas detil soal perizinan dan lain-lain. \"Kalau Uber nggak perlu download aplikasi lain tiap keluar kota, karena kami sudah ada dibeberapa kota besar Indonesia bahkan luar negeri,\" ujarnya saat media visit. Uber di Cirebon sendiri baru tersedia layanan Uber X (roda empat). Sayangnya saat tak ada tanggapan Uber soal penolakan ini saat koran ini coba mengonfirmasi, baik melalui pesan dan panggilan Whatsapp (WA). Melalui email tim Uber sempat merespons dengan meminta penegasan pertanyaan; \"Sebelumnya, boleh diperjelas dulu konteks pertanyaannya? Apakah ini terkait dengan PM 26/ 2017? Atau penolakan oleh Organda di Cirebon atau bagaimana ya? Mohon dielaborasi ya.\" Setelah email diperjelas dan pertanyaan yang dimaksud dikirim ulang, tak ada lagi balasan yang diterima. Seperti diketahui, Uber menggunakan sistem rating dari penumpang pada pengemudi, namun pengemudi Uber pun memiliki kewajiban untuk memberikan rating pada penumpang. Rating mitra pengemudi maupun penumpang merupakan faktor penting bagi perusahaan aplikasi yang hadir sejak 2009 lalu. (apr/mik/tta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: