Didemo Masyarakat Sunda Wiwitan, Pengadilan Tunda Eksekusi Lahan Adat

Didemo Masyarakat Sunda Wiwitan, Pengadilan Tunda Eksekusi Lahan Adat

KUNINGAN - Ratusan masyarakat adat Cigugur penganut ajaran Sunda Wiwitan bersama Ormas Gempur dan LSM GMBI mendatangi Kantor Pengadilan Negeri (PN) Kuningan berunjukrasa menuntut pembatalan eksekusi lahan adat yang rencananya akan dilakukan pada tanggal 20 Juli mendatang. Kedatangan massa aksi terjadi dua gelombang, diawali masyarakat adat Cigugur bersama Ormas Gempur datang sambil membawa alat pukul kentongan diiringi alunan tembang sunda mendatangi kantor PN Kuningan yang telah mendapat penjagaan ketat aparat dari Polres Kuningan dan juga Satpol PP. Dilanjut setengah jam kemudian massa dari LSM GMBI datang sambil membawa poster bertuliskan dukungan kepada masyarakat adat Cigugur dan mendesak PN Kuningan mencabut keputusan eksekusi tanah yang kini ditempati masyarakat adat Cigugur. Aksi massa tersebut mempermasalahkan terbitnya surat pemberitahuan eksekusi atas perkara No 07/Pdt.G/2009/PN Kng terhadap dua tanah milik masyarakat adat Cigugur yaitu lahan Leuweung Leutik dan Mayasih yang kini berdiri gedung Paseban dan kediaman keluarga Rama Jati Kusumah selaku tetua adat Cigugur. Mereka mempertanyakan surat keputusan Mahkamah Agung (MA) atau relaass yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Kuningan atas sengketa tanah antara dua keturunan tokoh Cigugur Mad Rais yaitu Jaka Rumantaka dan Rama Jati Kusumah. \"Penegakkan hukum memang harus ditegakkan meski langit runtuh. Namun penegakkan tersebut semestinya dilakukan dengan mengikuti norma regulasi yang telah ditetapkan sesuai alur dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan lembaga terkait lainnya,\" ungkap koordinator aksi dari Gempur Oki Satria dalam orasinya. Menurut Oki, masyarakat Cigugur mengetahui bahwa wilayah Paseban dan yang tercantum dalam surat keputusan eksekusi pengadilan adalah tanah adat yang tidak dapat diperjualbelikan. Selain itu adanya ketetapan pemerintah yang menyatakan kawasan tersebut sebagai cagar budaya dan tanah komunal, sehingga jika dikabulkan maka akan mengancam kehidupan dan tatanan budaya masyarakat adat setempat. Oki menuding, ada indikasi main mata petugas pengadil dalam menyelesaikan konflik sengketa tanah adat tersebut. \"Jika persoalan sengketa tanah ini diselesaikan berdasarkan hukum waris, sudah bisa dipastikan masyarakat adat Cigugur kalah,\" katanya. Persoalannya, lanjut Oki, tanah tersebut kini telah menjadi cagar budaya dan merupakan tanah komunal yang keberadaannya dilindungi UU Cagar Budaya no 11 tahun 2010. \"Oleh karena itu, masyarakat adat Cigugur akan mempertahankannya hingga titik darah penghabisan,\" tegas Oki. Aksi unjuk rasa masyarakat adat Cigugur tersebut kemudian ditanggapi oleh Ketua Pengadilan Negeri Kuningan Elly Istianawati SH didampingi Wakil Ketua PN Uli Purnama SH MH serta Ketua Panitera Andi Lukman SH di salah satu ruang persidangan PN. Di hadapan perwakilan massa, Elly menyatakan, pihaknya hanya menjalankan mekanisme hukum sesuai prosedur yang berlaku. \"Jikalau ada tudingan kami main mata seperti penyuapan, silakan laporkan kepada atasan kami di Pengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung,\" katanya. Ditambahkan Ketua Panitera Andi Lukman SH, bahwa dalam pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan sekalipun belum ada keputusan kasasi dari Pengadilan Tinggi maupun Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung. Seandainya hasil PK dari MA mebatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) maka bisa dilakukan pembatalan. \"Sudah ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh untuk menggugat keputusan PN, baik kasasi di Pengadilan Tinggi maupun PK di Mahkamah Agung. Ternyata dalam perkara ini, telah ada keputusan Mahkamah Agung yang malah memperkuat hasil keputusan PN yang kemudian menjadi dasar kami menerbitkan keputusan eksekusi tersebut,\" ujar Andi. Rupanya jawaban para petinggi pengadilan tersebut tidak memuaskan massa pengunjuk rasa dan bersikeras agar Pengadilan Negeri Kuningan membatalkan keputusan eksekusi yang dijadwalkan tanggal 20 Juli mendatang. Dengan mempertimbangkan ancaman kondusifitas dan konflik yang semakin runcing, akhirnya pihak Pengadilan memutuskan menunda eksekusi hingga batas waktu yang tidak ditentukan dan menunggu konsultasi dan koordinasi dari pihak Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Mendapat jawaban tersebut, massa pun bersorak dan mengakhiri aksinya dengan membubarkan diri dengan tertib. (taufik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: