Ingin Lucu seperti Mike Tyson

Ingin Lucu seperti Mike Tyson

INGIN tertawa sambil hanyut dalam perasaan? Saya sarankan nonton Mike Tyson. Bukan, bukan rekaman pas dia bertarung di atas ring. Melainkan saat dia berdiri di atas panggung. Sebagai seorang stand-up comedian! *** Pembaca serius Happy Wednesday mungkin sudah tahu kalau saya sangat suka stand-up comedy. Dan saya tegaskan lagi soal ini: Saya sangat, sangat suka stand-up comedy. Tentu saja saya tidak sendirian. Banyak orang suka hiburan yang sama. Makin banyak pula tayangan atau pertunjukan stand-up comedy bisa ditemui, baik di layar televisi maupun di berbagai panggung acara. Semakin banyak yang ditampilkan, tentu semakin memberi banyak variasi penampilnya. Ada yang menggunakan permainan kata-kata sebagai andalan. Ada yang bercerita ke sana kemari, walau mungkin semuanya fiksi. Ada juga yang berdasar pengalaman hidup, entah benar atau tidak. Semakin banyak yang ditampilkan, semakin pintar pula pemirsa/penontonnya dalam memilah-milah. Dan pada akhirnya, mereka yang benar-benar hebat akan bertahan di permukaan, sedangkan yang lain tenggelam entah ke mana. Karena suka stand-up sejak masih kuliah (bahkan masih SMA), selera saya terus terang cukup variatif. Tapi, yang paling saya suka adalah yang tema-temanya serius, berbau filsafat, lantas diolah menjadi sesuatu yang membuat kita tertawa sekaligus berpikir. George Carlin sudah pernah saya tulis sebagai favorit saya nomor satu. Dia banyak bicara soal agama, politik, dan permainan bahasa. Sudah lama ditulisnya, Happy Wednesday edisi 11. Tapi, Anda bisa membacanya lagi. Sebab, edisi 11 itu dimuat lagi di buku baru saya yang di-launching di Surabaya 26 Juli ini: Happy Wednesday Top 40 Wkwkwkwk… Favorit yang lain adalah Eddie Izzard. Pria Inggris itu sering berdandan feminin serta tema lawakannya banyak tentang sejarah dan konsekuensinya. Misalnya mengapa Disney membangun kastil palsu di Disneyland Paris, mengingat di Eropa bertebaran banyak kastil asli yang jauh lebih menakjubkan. Atau mengapa bahasa Inggris bisa berbeda versi Amerika dan Inggris-nya. Juga membanding-bandingkan dosa Hitler dengan Pol Pot. Tidak ketinggalan, meledek para bangsawan Inggris. Saya mencoba menonton sebanyak mungkin variasi stand-up. Pada akhirnya, kembali ke yang itu-itu saja. Lalu, setelah sekian tahun, satu demi satu favorit baru muncul. Dan dalam beberapa tahun ini, saya punya pengakuan, saya menjadi fans berat Mike Tyson. Saya bukanlah penggemar berat tinju. Saya kadang suka menonton, tapi bukan penggemar berat. Di rumah dulu, almarhum kakek saya dari sisi ibu –yang pensiunan tentara– adalah penggemar tinju nomor satu. Tapi, tidak harus jadi penggemar tinju untuk kenal Mike Tyson, yang pernah jadi juara dunia kelas berat termuda dalam sejarah. Cerita hidupnya terlalu ”seru” untuk tidak menjadi perhatian. Mulai terjerat dugaan pemerkosaan, menggigit telinga lawan, masuk penjara, jadi superkaya, jatuh bangkrut, dan lain sebagainya. Apa yang Tyson lakukan sejak 2012–2013 lantas membuat saya jadi penggemarnya. Karena sejak saat itu, dia menjadi seorang stand-up comedian. Ya, dia berdiri di panggung, melawak, dan pertunjukannya superlaris baik di Broadway, New York, maupun Las Vegas dan kota-kota lain di Amerika. Dia juga bermain di sejumlah film seperti The Hangover yang superkocak. Tapi, dia benar-benar bisa dibilang sukses sebagai seorang komedian. Silakan cari di internet, dia masih melakukan show di berbagai kota di Amerika sampai tahun ini. Paling gampang bagi kita untuk menonton, adalah mencari rekaman Mike Tyson: Undisputed Truth, yang pernah ditayangkan HBO. Tyson tampil dengan skenario yang dibantu ditulis istrinya, Kiki, dan dipoles sutradara kulit hitam kondang, Spike Lee. Menontonnya, saya benar-benar angkat topi dan bertepuk tangan. Mike Tyson –nama Islam-nya Malik Abdul Aziz– menggunakan cerita hidupnya sebagai bahan lawakan. Lucu, baik dalam cerita maupun cara penyampaian. Menyentuh, karena sambil tertawa, kita bisa belajar banyak tentang dia dan diri kita sendiri. Tyson mampu menertawakan diri sendiri dan seperti mendapat kelegaan besar dalam melakukannya. ”Anda mungkin bertanya, ngapain Mike Tyson berdiri di atas panggung seperti ini?” celetuknya di hadapan penonton. ”Terus terang, saya sendiri juga menanyakan hal yang sama,” lanjutnya, disambut tawa. Saya tidak akan menulis lebih banyak lagi lelucon atau cerita yang ditampilkan Tyson. Silakan Anda mencarinya dan menikmatinya sendiri. Tyson sendiri, kini 51 tahun, tampaknya akan terus melakukannya dalam tahun-tahun ke depan. ”Saya telah menemukan passion baru dalam babak baru hidup saya sekarang. Yaitu berada di atas panggung,” tandasnya. Memang penampilan Tyson tidak semulus orang-orang yang memang lahir dengan bakat melucu. Saya yakin dia harus banyak berlatih, khususnya dalam melafalkan kata-kata tertentu, untuk bisa mencapai tahap lucu yang sekarang. Tapi, dia telah berhasil menemukan hidup baru. Dan itu layak dikagumi. Dari petinju yang keras dan kasar, jadi pelawak hebat. Dari kebangkrutan dan kehancuran, jadi kembali sukses. Semakin menegaskan bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau. Setelah melihat Tyson, sedih melihat ada orang yang terus memaksakan diri dan bahkan menyakiti orang lain hanya untuk mempertahankan posisi atau jabatannya sekarang. Padahal, dia belum tentu baik untuk orang lain dan masa depannya belum tentu juga baik kalau dia terus seperti sekarang. Setelah melihat Tyson, saya kembali berani memikirkan cita-cita lama saya. Menjadi seorang stand-up comedian. Serius? Entahlah. Wkwkwkwk… Karena menjadi stand-upcomedian adalah salah satu cita-cita saya yang belum terwujud. Kalau Mike Tyson saja bisa, berarti siapa pun bisa. Anda pun bisa. Saya pun bisa. Never say never! (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: