Impor Garam Harus Segera Diakhiri

Impor Garam Harus Segera Diakhiri

JAKARTA-Dalam kondisi genting kelangkaan garam, pemerintah masih sibuk mengkaji Permendag 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam. Langkah konkrit yang dilakukan pemerintah masih dalam batas verifikasi berapa banyak garam yang sudah dipanen petani garam. Bahkan kajian impor tahap ke dua pun masih terus digodok. Hal ini diungkapkan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Brahmantya Satyamurti Poerwadi di kantornya. ”Setelah 18 Juli lalu (rapat lintas kementerian), kami masih melakukan verifikasi data di lapangan sampai minggu depan. Lalu masih membahas Permendag 125 terkait Penetapan Tarif dan NaCl-nya,” terang Brahmantya. Sehingga, lanjut dia, hingga dua minggu ke depan masalah impor sampai data panen harus diketahui dengan pasti baru bisa mengambil tindakan. ”Sekarang infonya memang sebagian petani sudah panen. Tapi data pasti masih dilakukan verifikasi. Sehingga, kita belum bisa mengambil tindakan,” katanya. Petani garam memang berharap agar rencana importasi garam tahap kedua tidak dilakukan lagi. Agar harga garam tidak anjlok ketika musim panen raya tiba. Sementara itu, menurut Dosen Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Nimmi Zulbainarni, seharusnya kelangkaan garam di dalam negeri tidak perlu terjadi. Pasalnya, potensi produksi garam di Indonesia itu sangat besar. Pemanfaatan laut Indonesia untuk memproduksi garam, sesungguhnya lebih mudah dibandingkan dengan pengelolaan perikanan tangkap yang notabene ikannya selalu bergerak. ”Tapi faktanya, hingga saat ini kita belum bisa memenuhi kebutuhan garam nasional atau dapat dikatakan masih jauh untuk mencapai swasembada garam nasional,” tukas Nimmi. Pada tahun 2016, tercatat kebutuhan garam nasional sebesar 4 juta ton per tahun yang terdiri dari kebutuhan garam konsumsi sebanyak 1,6 juta ton per tahun dan garam industri sebanyak 2,4 juta ton per tahun. Terdapat dua klasifikasi garam di Indonesia, yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam industri spesifikasinya kandungan NaCl > 97 persen,bebas diimpor kapan saja setelah ada rekomendasi Kemenprin. Petani belum bisa produksi karena kondisi iklim (kemarau pendek dan basah) serta keterbatasan hamparan ladang luas. Sedangkan garam konsumsi spesifikasinya kandungan NaCl 94-97 persen, hanya boleh diimpor oleh BUMN setelah mendapat rekomendasi KKP, ketika stok garam lokal kurang. ”Impor garam tidak bisa terelakkan karena pada tahun 2016 produksi garam hanya sebesar 143 ribu. Oleh karena itu, maka dikeluarkanlah rekomendasi garam impor oleh KKP sebanyak 226 ribu ton dengan impor tahap pertama sebanyak 75 ribu ton,” terangnya. Jika bicara stok garam konsumsi, maka ini terdiri dari ketersediaan garam di petani, di pabrik, di pasar (tradisional dan modern) dan di rumah tangga. Saat ini, kelangkaan garam konsumsi hanya terjadi di pabrik dan petani, tapi stok masih tersedia cukup di pasar dan di rumah tangga. ”Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir akan terjadi kelangkaan garam konsumsi sampai dengan tiga bulan ke depan,” ujarnya. Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah, lanjut Nimmi, adalah stop impor garam konsumsi sekarang juga. Impor garam konsumsi yang diperbolehkan hanya melalui PT Garam berpotensi menimbulkan kartel di perikanan. Jika ini terjadi, maka PT Garam bisa menjadi price maker yang tentu saja dampaknya garam lokal tidak terserap dan pada akhirnya dapat merugikan petani garam. Seyogyanya pemerintah berperan dalam menstabilisasi harga garam dengan memaksimalkan peran PT Garam yang bukan hanya berfungsi untuk produksi dan pengolahan saja, tetapi juga bisa menjalankan fungsi buffer seperti Bulog pada produk pertanian dan yang menyerap garam rakyat. Pada saat panen raya garam, PT Garam bisa menyerap garam dengan harga yang stabil, sehingga tidak turun drastis. “Dan sebaliknya, pada saat gagal panen, PT Garam pun bisa menjaga harga tidak terlampau tinggi. Dalam hal ini, PT Garam dapat menggandeng Koperasi Petani Garam dalam menjalankan Tupoksinya,” papar Nimmi. (nel)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: