Direktur RSUDGJ Terancam Penjara
KEJAKSAN- Telah habisnya izin operasional Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati (RSUDGJ) sejak setahun lalu, ternyata mendapat perhatian serius dari wakil rakyat. Mereka menganggap pihak manajemen teledor. Bahkan, Direktur RSUDGJ, drg Heru Purwanto MARS, terancam kurungan badan karena kelalaian ini. Wakil Ketua Komisi A, Cecep Suhardiman SH mengaku, dirinya kaget mendengar kabar tersebut. “Sebagai rumah sakit milik pemerintah, mestinya memberikan contoh yang baik dengan menaati aturan,” tegasnya, saat ditemui Radar di Aula Griya Sawala, Rabu (9/1). Menurut ketua Fraksi Partai Demokrat ini, berdasarkan Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, khususnya pada pasal 25, menerangkan bahwa tiap penyelenggara rumah sakit harus punya izin. Sedangkan jenis izin ada dua, yakni mendirikan dan operasional. Untuk izin mendirikan, jangka waktunya selama dua tahun dan dapat diperpanjang satu tahun. Sedangkan izin operasional jangka waktunya lima tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Sedangkan pada pasal 26, izin rumah sakit kelas b diberikan oleh pemerintah provinsi setelah mendapat rekomendasi dari Dinas Kesehatan. “RSUDGJ termasuk rumah sakit tipe b. Harusnya mengikuti aturan ini,” tandasnya. Bagaimana dengan sanksi bila pelanggaran terjadi, Cecep membeberkan, mengacu pasal 62, maka pihak rumah sakit dapat diancam pidana hukuman maksimal dua tahun dan denda Rp5 miliar. “Yang dipidana tentu saja adalah penanggung jawab rumah sakit yang tidak lain adalah direktur rumah sakit,” tuturnya. Sementara itu, terkait izin operasional, Direktur RSUDGJ, drg Heru Purwanto MARS membantah tidak memiliki izin operasional. Dijelaskan Heru, RSUDGJ yang berstatus sebagai rumah sakit umum daerah memiliki tugas untuk melayani masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Untuk operasionalnya pun sudah tercantum dalam perda yang ada. “Sebagai rumah sakit pemerintah, operasional rumah sakit sudah ditetapkan lewat perda sebagai lembaga pemerintah,” katanya, kepada Radar, Kamis (3/1). Yang harus diurus saat ini, jelas Heru adalah status RSUD Gunung Jati sebagai tipe B. Pasalnya, sekitar tahun 2008 lalu, dikeluarkan peraturan menteri kesehatan (permenkes) baru, yang di dalamnya terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. “Dulu memang sudah ditetapkan sebagai tipe B, tapi karena kemarin keluar permenkes baru, jadi ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi dan saat ini juga sedang kami laksanakan, dan sudah hampir 100 persen,” tukasnya. Ada Ancaman Dokter dan Suster Mogok Kerja KESAMBI- Dikonfirmasi terkait tuntutan Forum Karyawan Peduli (FKP) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati, yang meminta terduga calo calon pegawai negeri sipil (CPNS), HS, dipecat, enggan ditanggapi Direktur RSUD Gunung Jati, drg Heru Purwanto MARS. \"Wah saya no comment itu,\" ucapnya, saat dikonfirmasi Radar, Rabu (9/1). Heru juga enggan menanggapi pembentukan FKP yang di dalamnya terdapat dokter spesialis, karyawan, dan ratusan perawat. Dia hanya mengatakan, pihaknya siap memberikan penjelasan sejelas-jelasnya dan juga memenuhi panggilan DPRD Kota Cirebon. Rencananya, direktur akan menghadiri panggilan DPRD dengan jajaran direksi dan bidang-bidang lainnya untuk memberikan penjelasan terkait pelayanan rumah sakit. Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komisi C DPRD, H P Yuliarso BAE mengatakan, pemanggilan yang akan dilakukan hari ini, Kamis (10/1), sekaligus bakal meminta Direktur, drg Heru Purwanto segera menyelesaikan polemik di internal rumah sakit. Sebab, dirinya mendapatkan informasi akan ada aksi mogok yang dilakukan oleh kalangan dokter dan perawat. \"Kalau dilihat kan sekarang mulai memanas. Dokter mau mogok, suster juga. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana?\" ujarnya. Dia pun meminta para dokter yang ada untuk tidak memprovokasi pihak lain untuk mogok bersama. Sebab, rumah sakit adalah sentra pelayanan kesehatan dan tidak boleh sampai terjadi aksi mogok kerja. \"Bila direktur tidak mampu menyelesaikan, ya mau tidak mau pak wali harus turun tangan,\" tukasnya. Anggota Komisi C, H Sumardi, malah menyambut baik “perang” yang terjadi antara struktural dan fungsional di RSUDGJ. Menurut Sumardi, sekarang ini kalangan struktural dan fungsional sama-sama membeberkan informasi mengenai keburukan masing-masing. “Ini momen untuk berbenah. Ya baguslah kalau saling buka kebobrokan. Kan terbuka semua jadinya,” selorohnya. Sumardi mengaku, dirinya sempat beropini baik terhadap kinerja direksi rumah sakit setelah dipimpin drg Heru Purwanto MARS. Namun, dirinya juga tidak menyangka, konflik lama yang terjadi antara struktural dan fungsional kembali memanas. “Saya awalnya mengira ini kinerja (direksi) lebih bagus dari sebelumnya. Eh ternyata kok begini ya,” kata pria kelahiran Jogjakarta ini. Sementara itu, saat wartawan koran ini kembali mencoba mewawancarai sejumlah pasien, jawaban kurang memuaskan muncul. Salah satu pengantar pasien, Siti (32) warga Klangenan, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon mengatakan, dirinya baru pertama kali berobat ke RSUD Gunung Jati. Namun sayangnya, dia harus dibuat menunggu lama di poliklinik syaraf. \"Suwe ya Mba, wis nunggu dari jam wolu (pukul 08.00 WIB), beli dipanggil-panggil,\" ujarnya, seraya menyebutkan dirinya mendapat nomor urut 66. Hingga sekitar pukul 12.00 WIB, pelayanan pun belum kunjung selesai. Dia pun mengeluhkan tempat menunggu poli yang dianggap kurang representatif, karena panas, dan terlalu berjubel. \"Ya panas, nonggonie suwe pisan, tapi ya wis lah, jare tetangga, ning (RSUD) Gunung Jati bisa sembuh, ya nyoba bae sapa tau bisa sembuh,\" lanjutnya, dengan logat Cirebonan yang kental. (kmg / bd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: