Dokter Permasalahkan Insentif

Dokter Permasalahkan Insentif

Terlalu Kecil, Bikin Kinerja Tak Maksimal KEJAKSAN- Komisi C DPRD Kota Cirebon, kecewa dengan pernyataan dokter spesialis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati yang mempersoalkan nominal insentif. Apalagi, masalah insentif ini yang disebut sebagai penyebab kinerja dokter menjadi kurang optimal. “Saya merasa prihatin ya dan kecewa saat dokter mempermasalahkan minimnya insentif,” ujar Ketua Komisi C, P Yuliarso BAE, saat rapat dengar pendapat dengan RSUD Gunung Jati, Kamis (10/1). Menurut Yuliarso, sebagai seorang dokter, seharusnya mengedepankan pemberian pelayanan yang baik pada masyarakat, bukanlah mempersoalkan insentif. “Saya heran, kok insentif yang dikejar. Harusnya kan tidak begitu, mana misi sosial seorang dokter?” tanya dia. Sebelum blak-blakan mengakui insentif yang kurang, Komisi C sempat mencecar para dokter untuk bicara mengenai alasan membuka praktik di banyak tempat. Para dokter spesialis tersebut beralasan agar dapat melayani masyarakat lebih banyak. Namun, setelah didesak parlemen, para dokter spesialis akhirnya mengakui, kecilnya nilai insentif yang menjadi alasan mereka cari sampingan dan berakibat pada kurang optimalnya pelayanan di RSUD Gunung Jati. “Tadi katanya baik-baik saja, ya semoga saja benar begitu, sehingga pelayanan yang diberikan bisa lebih maksimal,” selorohnya. Dalam rapat tersebut, juga muncul wacana untuk pembuatan komitmen di lingkungan dokter. Ketua Satuan Pengawas Internal RSUD Gunung Jati, dr Djajat mengatakan, permasalahan yang selama ini muncul di media, adalah pelayanan yang kurang maksimal untuk masyarakat. Salah satunya adalah kehadiran dokter yang dianggap terlambat. Maka dari itu, tidak ada salahnya bila dicoba untuk dibuatkan komitmen di antara dokter terkait jam pemberian pelayanan. “Intinya sebenarnya ada di pelayanan. Ini hanya usul, bagimana kalau dibuatkan komitmen. Supaya masyarakat juga tahu. Apakah kita mulai jam 08.00, 09.00 atau jam berapa?” katanya. Sementara itu, dokter spesialis penyakit dalam RSUD Gunung Jati, dr Wizhar Syamsuri SpPD mengakui, masih banyak kekurangan yang terdapat di RSUD Gunung Jati. Oleh sebab itu, karyawan berinisiatif membentuk Forum Karyawan Peduli (FKP). Tujuannya, bukan untuk saling menjatuhkan, apalagi saling menyerang. “Itu gerakan moral dengan tujuan perubahan RSUDGJ ke arah yang lebih baik secara komprehensif,” kilahnya. RSUD Gunung Jati Terancam Ditutup KEJAKSAN- Izin operasional Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati yang belum diperpanjang, menurut praktisi hukum, Gunadi Rasta SH MH, adalah bukti keteledoran manajemen dalam mengelola administrasi rumah sakit. “Bagaimana bisa sebuah rumah sakit umum daerah justru malah teledor dan lalai dalam perizinan. Padahal ini menyangkut kepentingan masyarakat umum. Harusnya sebagai rumah sakit pemerintah, memberikan contoh yang baik kepada masyarakat,” bebernya, kepada Radar, Kamis (10/1). Keteledoran ini, kata Gunadi, bisa berakibat fatal. Apalagi bila mengacu kepada Undang-undang No 44 tahun 2009. Apabila tidak diperpanjang, manajemen terancam pidana hukuman maksimal dua tahun dan denda Rp5 miliar. “Rumah sakit terancam ditutup kalau memang tidak punya izin,” tegasnya. Menurut Gunadi, operasional rumah sakit yang saat ini dijalankan bisa dikatakan ilegal. Ketika ada pasien yang dirawat, rumah sakit tidak berhak menarik biaya perawatan. Begitu juga pasien rawat jalan. Dokter yang bekerja di rumah sakit juga termasuk ketegori malapraktik. “Akibat kelalaian manajemen, dokter-dokter bisa terancam denda hingga Rp500 juta. Kan kasihan kalau seperti ini,” paparnya. Dikonfirmasi terpisah, Direktur RSUDGJ drg H Heru Puwanto MARS, justru enggan berkomentar banyak. Heru hanya menjelaskan, proses perizinan sampai sekarang sedang diurus, dan posisinya saat ini masih menunggu izin operasional turun dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. “Sudah diurus, masih menunggu dari provinsi,” ujarnya, sambil ngeloyor. Warga Pemegang SKTM Ditolak HARJAMUKTI- Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Jati terhadap warga pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM), kembali menjadi sorotan. Penolakan dialami oleh warga RW 2 Pesantren, Kelurahan/Kecamatan Harjamukti, Siti Julaeha. Ditemui di RA As-Syifa Sitopeng, ibu satu anak ini mengatakan, hal tersebut terjadi sekitar akhir November 2012. Saat itu, dia hendak membawa suaminya berobat karena mengalami kecelakaan. Namun, SKTM yang dibawanya ditolak, sehingga suaminya tidak bisa mendapatkan pelayanan medis. \"Ya diabaikan. Surat-surat sudah kami bawa, lengkap, tapi malah tidak bisa diobati,\" ujar dia, kepada Radar, Kamis (10/1). Karena berkas-berkasnya ditolak, suaminya tidak mendapatkan pengobatan. Namun karena kondisi suaminya sudah cukup parah, akhirnya Juju membawanya ke rumah sakit lain. \"Ya akhirnya dapat dari sana-sini untuk pembayarannya,\" tuturnya. Penolakan tersebut, akhirnya membuat Juju ragu-ragu untuk melakukan pengobatan di RSUD Gunung Jati. Padahal, dalam waktu dekat ini dirinya harus membawa suaminya untuk rawat jalan. \"Kalau kontrol kira-kira bisa tidak ya pakai SKTM? Saya takut ditolak lagi,\" tuturnya. Dikonfirmasi terkait penolakan ini, Direktur RSUD Gunung Jati, drg Heru Purwanto MARS membantahnya. Heru mengungkapkan, pasien SKTM warga Kota Cirebon menjadi prioritas untuk dilayani. \"Tidak ada itu tolak menolak. Kalau memang warga kota, akan kami layani,\" ucapnya. Dia pun meminta pada yang bersangkutan untuk tidak ragu memeriksakan kondisi suaminya di RSUD Gunung Jati. Heru menjamin, tidak akan terjadi penolakan lagi. \"Senin coba ke rumah sakit lagi,\" pintanya. (kmg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: