Sore, Malam, Pagi Nikmati Musik, Satu Dasawarsa Jazz Gunung

Sore, Malam, Pagi Nikmati Musik, Satu Dasawarsa Jazz Gunung

JAZZ Gunung di Bromo, Jawa Timur, menjadi perhelatan yang dinanti-nanti setiap tahun. Menikmati komposisi musik di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut menghadirkan pengalaman manis. Tahun ini, penyelenggaraan pentas musik itu menginjak tahun kesepuluh. Tema kali ini adalah 10 Tahun Merayakan Keragaman. Selain jazz, ada musik pop, funk, reggae, soul, world music, R&B, dan folk. Line-up musisi dan penonton festival musik bertaraf internasional tersebut pun beragam. Yang berbeda, tahun ini #JazzGunung1Jazzawarsa digelar tiga hari. Hal itu bertujuan menampung animo penonton yang terus bertambah. \"Kapasitas amfiteater sekitar 2 ribu penonton. Karena kami nggak bisa menambah kapasitas amfiteater, pilihannya adalah menambah hari,” ujar Sigit Pramono, salah seorang penggagas Jazz Gunung, dalam jumpa pers di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis sore (28/6). Mengenang awal mula diadakannya Jazz Gunung, kala itu Sigit yang menggemari fotografi dan sering bolak-balik Bromo merasa miris karena Bromo hanya dikenal sebagai destinasi untuk melihat matahari terbit. ”Padahal, potensinya jauh lebih besar. Bagaimana supaya wisatawan tinggal lebih lama di Bromo dan meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar kaki Gunung Bromo,” tuturnya. Bersama musisi serta budayawan Djaduk Ferianto dan Butet Kertaradjasa, Sigit menggagas Jazz Gunung sebagai sinergi musik, budaya, dan kekayaan alam Indonesia. Konsistensi dan ciri khas menjadi kunci sukses Jazz Gunung hingga satu dasawarsa sejak kali pertama diselenggarakan pada 2009. Pemilihan list performer melalui kurasi ketat dan kesesuaian dengan tema yang diusung. Bagi musisi, berkesempatan tampil di Jazz Gunung menjadi kebanggaan tersendiri. Salah satu konsep beda di Jazz Gunung 2018 adalah Jazz Gunung Pagi-Pagi pada hari ketiga (29/6). Jika pada hari pertama dan kedua dimulai sore hingga malam, pertunjukan musik di hari ketiga dimulai pukul 05.00–10.00 WIB. Penonton bisa melihat matahari terbit sambil sarapan dan menyeruput kopi khas Bromo dengan ditemani alunan musik live. ”Ini sebuah eksperimen. Line-up pun dipilih yang pas dengan suasana pagi,’’ jelas Djaduk. Endah N Rhesa, musisi suami istri yang menjadi salah satu penampil pada hari ketiga, mengungkapkan antusiasme mereka. ”Ini mimpi kami sejak lama, bisa tampil di Jazz Gunung. Akhirnya tercapai di tahun kesepuluh,” ucap Endah. Keduanya sering mendengar pengalaman rekan musisi yang tampil di Jazz Gunung. ”Bawa pakaian tebal, efek-efek dilapisi penutup. Kalau nggak, bisa berembun,” kata Rhesa, menirukan pesan teman musisi yang pernah mengisi Jazz Gunung. Sejak mendapat kabar dua bulan lalu, pasangan tersebut menyiapkan list lagu yang sesuai dengan konsep. Ada tujuh hingga delapan lagu untuk durasi penampilan 45–60 menit. ”Deg-degan tampil pagi di gunung. Vibe-nya tentu berbeda,” ungkap Endah. Selain tampil di Jazz Gunung Pagi-Pagi, Endah mengisi performance Bintang Indrianto pada malam sebelumnya. ”Saya bakal ngerasain dua momen, malam dan pagi,” lanjutnya. Karena itu, persiapan fisik tak kalah penting. Endah dan Rhesa rutin bersepeda untuk melatih jantung dan menjaga kebugaran. Mereka telah menyiapkan kejutan untuk penampilannya. Selain musisi tanah air, Jazz Gunung menghadirkan Jungle by Night, kelompok musik Afrobeat, jazz, funk asal Belanda. Serta Insula, trio musik kontemporer asal Prancis. Untuk kali ketiga, Jazz Gunung memberikan Jazz Gunung Award. Setelah pada 2016 untuk mendiang Ireng Maulana, kemudian mendiang Jack Lesmana pada 2017, tahun ini penghargaan didedikasikan kepada mendiang Bubi Chen. (nor/c18/nda)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: