Janji Jokowi yang Terbengkalai
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi sudah berani mengumbar janji. Dia pernah menebar iming-iming jika menjadi presiden, akan menunjuk anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. \"Menteri Pendidikan dari PGRI karena dari guru, background jelas, rekam jejak jelas. Ngerti betul. Jangan sampai pegang jabatan yang enggak ngerti,” kata Jokowi pada 1 Juni 2014. Usai jadi presiden, Jokowi justru mendapuk Anies Baswedan yang tak memiliki latar belakang di PGRI sebagai Mendikbud. Pada 27 Juli 2016, Anies diganti Muhadjir Effendy yang berlatar belakang Muhammadiyah. Jokowi juga berjanji akan menyelesaikan seluruh permasalahan guru hononer jika terpilih sebagai presiden. Namun, beberapa hari menjelang akhir periode jabatannya, Jokowi kaget ada guru honorer yang digaji di bawah Rp300 ribu per bulan. Jokowi baru menyadari masalah itu saat bertemu dengan perwakilan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) di Istana Negara pada 11 Januari lalu. Salah satu guru yang bertemu dengan Jokowi bercerita ia telah bekerja sejak 2009 dan gajinya dari Rp50 hanya naik menjadi Rp150 ribu per bulan. Melalui visi, misi, dan program aksinya sebagai capres 2014, Jokowi berjanji akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran, sumber daya hidup orang banyak. Tujuannya, agar tidak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang atau kartel industri penyiaran. Namun, riset doktoral Ros Tapsell menjelaskan sampai sekarang adanya konglomerasi media yang menguasai frekuensi publik. “Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh.” Kalimat itu tertuang pada kesimpulan Bab II dalam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution, yang terbit Juli tahun lalu. Dalam visi, misi, dan program aksinya, Jokowi dan Jusuf Kalla berjani akan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian tanah, dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat. Jokowi menegaskan akan menegakkan hukum lingkungan. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sepanjang 2014 sampai 2018, ada 22 kasus kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang anti-tambang di Indonesia. Ada 85 warga yang menjadi korban dari kasus-kasus ini. Rata-rata terkait protes penolakan pertambangan batubara, pertambangan emas, dan pertambangan batu gamping untuk kepentingan pabrik semen. Pada poin ke-7 visi, misi, dan program kerja Jokowi tercantum: \"Kami akan mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta hektare sawah dan 1 juta hektare sawah baru di luar Jawa.\" Janji itu berkebalikan dengan temuan JATAM, yang memperkirakan sekitar 1,7 juta ton beras per tahun hilang akibat pertambangan batubara. Selain itu, 6 juta ton produksi beras per tahun di tanah garapan terancam hilang per tahun. Jika terjadi pertambangan di konsesi batubara di tanah yang diidentifikasi mampu dimanfaatkan untuk cocok tanam padi, menurut JATAM, akan ada tambahan 11 juta ton beras per tahun yang hilang. Jokowi juga berjanji akan membangun keterbukaan informasi dan komunikasi publik (KIP) dalam kebijakan informasi dan komunikasi publik; menjalankan UU 12/2008 tentang KIP secara konsisten. Namun, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) tentang penyampaian hasil penyelidikan tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir Said Thalib. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai putusan ini melegalkan tindak kriminal yang dilakukan oleh negara. Jokowi juga menjamin kebebasan beragama dan keyakinan, yang tertulis dalam visi, misi, dan program kerjanya: \"Melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.\" Akan tetapi, Kontras mencatat selama setahun saja (2017 hingga 2018) ada 151 kasus pelanggaran hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Pada poin lain, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari (Lampung), Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. Soal janji ini, tak ada satu pun kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mampu dituntaskan Jokowi. Menurut Kontras, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan korban pelanggaran HAM berat serta sejumlah elemen masyarakat sipil, ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih menggantung di Kejaksaan Agung. Koordinator Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani menilai Jokowi \"memperdagangkan\" HAM hanya demi mendulang suara. Menurutnya, sepanjang kepemimpinan Jokowi-JK, ide soal HAM hanya dijadikan hiasan dalam visi, misi, dan program kerja. “Isu HAM lagi-lagi hanya menjadi gimik politik tanpa ada komitmen yang konkret untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM [berat] masa lalu, yang masih terkatung-katung sejak lama,” ujar Yati dalam keterangan tertulis. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: