Perajin Anyaman Bambu Terancam Bangkrut
MAJALENGKA - Masyarakat Desa Nanggerang, Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, mayoritas adalah perajin anyaman bambu. Tidak sedikit, sejumlah warga khususnya kaum perempuan menjadikan produk anyaman sebagai sumber pendapatan. “Anyaman bambu seperti boboko (bakul, red), hihid (kipas dari bambu, red), dan lainnya sebagai salah satu tradisi turun temurun sejak zaman dahulu. Saya merupakan generasi keempat yang menjadikan anyaman bambu sebagai penghasilan pendapatan sehari-hari,” kata salah seorang perajin anyaman bambu, Aminah (50), Jumat (25/1). Belakangan ini, lanjut Aminah, para perajin anyaman bambu mengeluhkan dengan minimnya pangsa pasar atau pesanan dari berbagai daerah tidak seperti di tahun 90-an hingga 2000 silam. Banyaknya produk anyaman baru dari berbagai bahan plastik dan lainnya disinyalir menjadi minimnya penjualan produk andalan warga setempat. Selain itu, lanjutnya, tidak adanya regenerasi penerus dari anak muda. Pasalnya, kebanyakan setelah lulus sekolah banyak mereka yang mau mendapatkan penghasilan tinggi seperti buruh pabrik hingga ke luar kota. “Saya khawatir dengan profesi mengayam ini tidak ada regenerasi penerus. Karena anak-anak muda sekarang tidak mau tahu dengan anyaman. Walaupun penghasilan tidak tentu namun semangat memperjuangkan hidup selalu ada,” tuturnya. Kepala Desa Nanggerang Udi wahyudi membenarkan bahwa beberapa faktor memengaruhi produk anyaman bambu mulai ditinggalkan. Di samping itu, tidak adanya minat anak muda untuk mencoba bahkan hingga mau mengembangkan produk-produk yang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat sejak zaman dahulu. \"Saya sangat prihatin dengan sulitnya regenerasi anak-anak muda yang ingin belajar mengayam. Ini bukti awal kepunahan tradisi ngayam. Padahal meski sudah bekerja di perusahaan yang saat ini mulai ada di sejumlah wilayah Sumberjaya, tidak salahnya bisa memanfaatkan waktu luang untuk menganyam,” imbaunya. Terpisah, Kepala Bidang Perindustrian Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian (Disnakerin) Majalengka, Wawan Kurniawan menjelaskan, terlepas dari nilai kebudayaan bahwa produk industri memakai hukum ekonomi yang hingga kini melekat 100 persen, ketika sebuah produk tidak masuk pasar, maka akan sulit memperluas pangsa pasar. Menurut Wawan, menciptakan produk juga harus terlebih dahulu survei pasar. Sebab, pemerintah tidak asal memberikan modal jika produk tidak mampu bersaing dengan produk lain di pasar. “Akan tetapi kita tetap lakukan pembinaan guna menciptakan suatu produk yang bisa bersaing agar bisa laku dan berjalan stabil. Karena larinya nanti ke profit. Namun kita pasti bina karena tidak semua di gantikan. Seperti boboko bambu ini meski ada produk boboko plastik, kita tetap bina untuk meningkatkan mutu dan inovasi desain,\" tegasnya. Mantan Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika ini menambahkan, beberapa produk dari wilayah Majalengka masih menjadi daya tarik bagi masyarakat luar negeri. Seperti dengan adanya eksportir ke Saudi Arabia dan sejumlah beberapa negara lainnya. Karena itu, disnakerin berupaya agar para pelaku usaha maupun perajin anyaman dan lainnya ditekankan berinovasi serta didorong untuk menciptakan suatu motif guna lebih menarik pembeli. “Mungkin beda arti dari sisi budaya, karena tidak dipakai nilai ekonomi melainkan seni. Kita dorong para pelaku bisnis agar lebih berinovasi,” pungkasnya. (ono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: