Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, Peluang atau Masalah?
SAMPAH menjadi isu serius yang harus segera ditangani. Tidak hanya karena merusak lingkungan, sampah juga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit dan merugikan lingkungan. Solusi yang ditawarkan untuk dapat mengurangi sampah dengan mengolah sampah menjadi pembangkit listrik tenaga sampah.
Kepala BPPT, Hammam Riza meninjau pembangunan Pengolahan Sampah Proses Termal, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, dengan kapasitas 50-100 Ton per hari.
Diungkap Kepala BPPT dalam keterangan tertulisnya, pengolahan sampah thermal ini akan berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Hal ini tuturnya, merupakan opsi nyata menuntaskan permasalahan timbunan sampah di perkotaan.
\"Pengolahan sampah menggunakan teknologi termal, karena mampu memusnahkan sampah dalam waktu yang cepat dan signifikan. Teknologi inipun dapat memusnahkan sampah hingga kapasitas 50-100 ton per hari, dengan hasil listrik hingga 700 Kw,” paparnya.
Untuk itu inovasi pengolahan sampah proses thermal ini digadang olehnya, merupakan metode yang tepat untuk mengatasi makin menggunungnya tumpukan sampah.
\"Jadi pengolahan secara thermal ini tujuan utamanya adalah memusnahkan sampah secara cepat dan signifikan, bahkan dapat menghasilkan listrik,” ungkapnya. Lebih lanjut Kepala BPPT meyakini bahwa pilot project ini dapat digunakan sebagai percontohan akan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan serta dapat menyelesaikan permasalahan sampah secara tuntas. Selain itu, pembangunan PLTSA Merah Putih ini juga didukung oleh industri dalam negeri. Hal ini penting agar nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga tinggi. \"Ini menjadi bukti BPPT mampu menghasilkan teknologi sesuai kebutuhan. Atau teknologi demand driven. Kita ingin memaksimalkan TKDN dan ini bisa kita laksanakan. Ini merupakan sebuah kebanggaan,\" katanya. Lebih lanjut Hammam berharap dengan adanya pengembangan PLTSA ini, yang juga didasarkan oleh Peraturan Presiden, maka BPPT mampu tampil menjadi pemain kunci. \"Dengan Perpres PLTSA, serta amanat TKDN, kami ingin BPPT mampu menjadi pemain kunci. Sebagai pihak yang melakukan pengkajian dan penerapan teknologinya,\" timpalnya. Kedepannya pun imbuhnya, jika model PLTSa ini menjadi rujukan untuk dibangun di tengah kota, tentu harus dikaji bersama agar dihasilkan model terbaik. \"Jadi model PLTSa kedepan kalau mau dibangun di tengah kota, yang terpenting adalah bagaimana ini PLTSa dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya nanti. Hal inipun merupakan penunjang dari society 5.0,\" pungkasnya.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM), ada 12 kota yang dianggap mampu menjadi sumber pembangkit listrik tenaga sampah. Pada tahun 2019 ESDM menetapkan 2 kota yang akan menjadi pembangkit listrik tenaga sampah. Bekasi menjadi kota pertama yang dianggap mampu menghasilkan listrik hingga 3,5 MW. Surabaya menjadi kota ke dua yang dapat menghasilkan listrik hingga 11 MW dari tenaga sampah. Pada 2021, Surakarta menjadi kota yang mampu menghasilkan 10 MW. Denpasar juga dianggap mampu untuk menghasilkan listrik hingga 20 MW. dan Palembang juga menjadi salah satu kota yang dapat menghasilkan listrik hingga 20 MW. Pada tahun 2022 menjadi tahun dengan penambahan kota yang mampu untuk menjadi pembangkit listrik tenaga sampah. DKI Jakarta dianggap masuk kriteria kota untuk bisa membuat pembangkit listrik tenaga sampah dengan 35 MW. Bandung juga masuk ke dalam daftar kota yang mampu untuk jadi pembangkit listrik tenaga sampah yang perkirakan dapat menghasilkan hingga 29 MW. Tangerang, Semarang, Makasar, Tangerang Selatan, dan Manado juga menjadi kota yang dipilih ESDM untuk menjadi kota yang dapat menghasilkan 20 MW. Total potensi kapasitas 234 MW dari 12 kota. 25 maret 2019, meluncurkan Pilot Project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Pembangkit listrik ini nantinya akan mengelola sampah sebanyak 100 ton per hari dan akan menghasilkan bonus listrik sebanyak 700 kilowatt per jam Namun, anggota Komisi VII DPR RI Ahmad M Ali menilai bahwa rencana pengelolaan dengan metode pengembangan daur ulang sampah menjadi energi listrik yang merupakan salah satu dari pilot project Energi Baru Terbarukan (EBTKE), belum berjalan maksimal di beberapa daerah di Tanah Air. Menurutnya, pengembangan tata kelola sampah untuk tujuan pengayaan energi baru terbarukan, memang sejauh ini hasilnya tidak begitu menggembirakan, baik karena soal hambatan regulasi maupun teknis lapangan. Pernyataan Ahmad berkaitan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menagih persoalan sampah yang terjadi di pelbagai daerah, serta pengelolaan sampah menjadi energi pembangkit listrik. Jokowi pernah menagih sekaligus mengevaluasi progres penanganan sampah untuk energi listrik dalam rapat terbatas dengan topik \'Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)\' di Istana Presiden, Selasa 16 Juli 2019. Berkaitan dengan itu, lanjut Ahmad, Komisi VII dan pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup memiliki komitmen yang kuat terhadap pengembangan EBTKE. \"Dari sisi rencana dan fasilitasi anggaran tidak terdapat masalah serius,\" terang Ahmad kepada Media Indonesia di Palu, Selasa (30/7). Masalah mendasar, menurut Ketua Fraksi NasDem di DPR-RI itu, sebetulnya terletak pada dua hal. Pertama, tidak semua provinsi maupun kabupaten/kota menurunkan EBTKE, PLTSa menjadi skala prioritas rencana umum energi daerah. Bahkan ada daerah yang tidak memiliki sama sekali rencana umum energi daerah. Kedua, lanjut Ahmad, berkaitan dengan koordinasi rasio kecukupan elektrifikasi setiap daerah dan ketiga, berkaitan dengan power purchase agreement dengan PLN, sebagai hilir pengelolaan listrik. Sebagian besar, sebut dia, pemerintah daerah belum detail menurunkan rencana energi baru terbarukan sebagai terobosan pembangunan daerah. \"Pemerintah daerah umumnya belum memiliki skenario semacam itu, katakanlah penanganan sampah berbasis energi listrik atau PLTSa sebagai bagian dari terobosan pembangunan daerah,\" ungkapnya. Di sisi lain terdapat tantangan yang di hadapi seperti, urai dia, berkaitan dengan bahan baku dan ketersediaan investasi di sektor tersebut. \"PLTSa itu kan standar tekhnis yang umum butuh antara 700-1500 ton sampah per hari, sementara di beberapa kota, memiliki kapasitas sampah relatif sedikit, misalnya Palu yang hanya sekitar 115 ton per hari,\" tandas Ahmad. Sementara, Dosen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum, mengatakan, keberadaan PLTSa khususnya plastik memberikan dampak bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembakaran plastik, akan menghasilkan senyawa toksik terutama dioksin dan furan. Senyawa itu dapat terakumulasi di lingkungan, organisme, dan manusia. Akibatnya, mengganggu kesehatan manusia seperti batuk dan sesak nafas. “Bahkan dioksin memiliki sifat karsinogenik tipe 1, yaitu bahan pencetus kanker ketika terpapar pada tubuh kita,” ujarnya. Operator mesin juga harus terampil, supaya meminimalkan kesalahan. Sisa pembakaran, berupa bahan berbahaya dan beracun [B3], harus ditangani dengan baik. Tidak kalah penting, penempatan alat yang sebaiknya jauh dari permukiman penduduk. “Untuk meminimalkan kontak langsung masyarakat sekitar,” ujarnya. Hanie Ismail dari Komunitas Nol Sampah Surabaya menambahkan, pemakaian insenerator bila memungkinkan harus dihindari. Dampak kesehatan maupun pencemaran lingkungan lebih besar dibanding listrik yang dihasilkan. Pemanfaatan kembali disertai pengurangan pemakaian menjadi langkah efektif mengatasi persoalan yang ada. “Pola hidup masyarakat harus diubah. Sedapat mungkin, sampah yang ada saat ini diolah menjadi sesuatu bernilai, tapi tidak mencemari lingkungan,” paparnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: