Pool-test Hafidz

Pool-test Hafidz

Berarti satu kabupaten itu telah merdeka. Bagaimana kalau di satu RT hasilnya positif? Itulah gunanya mengambil mukus dua sampel. Kan sampel mukus kedua masih ada. Maka khusus untuk RT-Positif lakukanlah proses berikut: sampel mukus individual tadi dimasukkan VTM individual.

Lalu dimasukkan reagen individual. Maka ketahuanlah siapa di RT-Positif tersebut yang ternyata positif. Dengan demikian tidak lagi harus satu RT di-lockdown. Cukuplah warga yang positif itu saja. Jelaslah: kabupaten itu tidak perlu lockdown. Demikian juga kabupaten sebelah. Pun kabupaten sebelah lagi. Se-Jawa.

Bagi pulau seperti Bali atau Lombok atau yang setara itu lebih mudah lagi. Itulah yang disebut pool-test system. Saya sudah minta maaf ke Hafidz. Kok baru tadi malam meneleponnya. Padahal ia sudah menghubungi saya 16 jam sebelumnya. Waktu pertama ide ini disampaikan, saya berterus terang: perlu waktu untuk memahaminya. Saya bukan ahli matematika --rapor pelajaran berhitung saya selalu merah. Saya tidak paham algoritma. Saya agak pusing memahami rumus-rumus simulasi yang ia kirim lewat WA.

Tapi sejak 16 jam itu saya sudah bisa memahami roh persoalannya: ini penting sekali. Ini mendasar sekali. Tinggal memutuskan: mau atau tidak mau. Hafidz, anak Jakarta (SD Johar Baru, SMAN 8) ini memang istemewa. Ia bersama temannya --alumni Informatika ITB-- mendirikan satu perusahaan: membuat program komputerisasi penilaian ujian sekolah.

Saat ia membuat itu baru ada satu program sejenis di Indonesia --milik dosennya. Dan ia membuat yang beda, yang lebih sempurna --meski ia tidak mau mengatakan itu. Masih banyak lagi sepak terjangnya. Dua tahun lalu ia mendirikan sekolah dasar (SD) Galenia di Jalan Dago --tidak jauh dari ITB.

Keistimewaan SD itu: mata pelajarannya hanya tiga. “Hanya tiga mata pelajaran?” tanya saya takut salah dengar. “Iya. Hanya tiga,” jawab Hafidz. “Apa saja itu?” “Bahasa Inggris, matematika dan Bahasa Indonesia,” jawabnya.

Ia merasa saya heran atas mata pelajaran nomor tiga itu. Maka Hafidz buru-buru menjelaskan: pelajaran Bahasa Indonesia perlu agar lulusannya nanti pandai berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Oh… Rupanya Hafidz sadar. Utamanya karena ia sendiri orang teknik --elektro pula: orang teknik lemah dalam sastra.

Sebenarnya ada satu mata pelajaran lagi. Tapi ia tidak menyebutnya pelajaran: renang.
“Itu pelajaran olahraga,” kata saya. “Bukan,” jawabnya, “Itu sarana untuk membuat lebih percaya diri”. Orang yang tidak bisa berenang, katanya, kurang percaya diri. Apalagi kalau sudah harus menyeberang laut. Dan lagi “pelajaran” renang itu hanya tiga bulan. Setelah bisa renang ya sudah.

Ups… Ada pelajaran lain lagi: menghafal Alquran. Tapi ia tidak mau menyebutkan itu mata pelajaran. Itu ibadah. “Anda sendiri hafal Alquran?” tanya saya. “Belum. Masih dalam proses,” katanya merendah.

Dalam hal pool-test Covid-19 tadi Hafidz sebenarnya menyampaikan kepada saya hitung-hitungannya secara rinci. Saya pikir menarik juga untuk disampaikan di bagian bawah DI\'s Way hari ini. Tapi ketika tulisan sampai di sini saya berpikir ulang: untuk apa ya ditulis di sini? Bukankah belum tentu ide ini bisa diterima? Wong, Hafidz sudah ke mana-mana pun belum mendapat respons menggembirakan?

Melaksanakan ide Hafidz ini memang sulit. Tapi ada yang lebih sulit lagi: melahirkan kemauan itu. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: