Pengamat Hukum: Ada Banyak Cela Hukum di Program Kartu Pra Kerja

Pengamat Hukum: Ada Banyak Cela Hukum di Program Kartu Pra Kerja

CIREBON - Pengamat hukum, Andri W Kusuma berpendapat, Kartu Pra Kerja sebetulnya merupakan program dan niat yang sangat baik dari pemerintah. Namun, apabila dilihat dari pelaksanaannya dan perspektif hukum, sebaiknya dihentikan sementara karena banyak aturan yang dilanggar.

Andri menjelaskan, meski pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang masih judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), terutama mengenai aturan yang membuat pemerintah atau pengambil kebijakan terkait  ‘kebal’ secara hukum, tapi tetap saja diduga ada pelanggaran. Salah satu potensi yang dilanggar di antaranya Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Bukan saja uang pra kerja yang hilang, tapi paket data (kuota internet) milik para pencari kerja dan korban PHK pasti terpotong. Sementara kita tidak pernah bisa tahu berapa data yang terpotong. Kita beli paket data 2GB saja, tidak pernah tahu apa benar isinya segitu? Karena, tidak bisa atau susah diaudit,” kata Andri kepada wartawan.

Untuk mengakses video pada paket yang disediakan program Kartu Pra Kerja, paket data milik masyarakat yang lolos program itu juga berpotensi tersedot. Dalam keadaan sedang susah seperti ini, justru pemegang Kartu Pra Kerja berpotensi kehilangan paket datanya (uang pribadinya, red).

“Karena mereka (pemegang Kartu Pra Kerja, red) tidak punya pilihan. Dan parahnya, mereka tidak tahu berapa paket data yang terpotong. Ini juga melanggar UU Perlindungan Konsumen,” kata Andri.

Tercatat, sebanyak 8 juta orang lebih mendaftar program Kartu Pra Kerja sejak gelombang awal dibuka hingga Senin (27/4). Setiap peserta yang lolos akan mendapatkan biaya pelatihan sebesar Rp3,55 juta ketika diumumkan lolos seleksi. Namun, peserta  menggunakan dana sebesar Rp1 juta terlebih dahulu untuk mengikuti pelatihan.

Menurut Andri, ada celah hukum di Kartu Pra Kerja ini. Sebab, anggaran Rp5,6 triliun yang diberikan kepada beberapa penyedia konten (content provider) yang menjadi pelaksana ini termasuk yang diatur dalam Perpu tersebut atau tidak. “Dan tentunya termasuk dugaan unsur tindak pidana korupsi karena salah satu content provider diduga melibatkan salah satu staf khusus di lingkaran Istana Negara yang beberapa waktu lalu sudah mengundurkan diri,” ungkapnya.

Pengunduran diri tentu tidak dapat melepaskan seseorang dari pertanggung jawaban pidana. Karena itu, dirinya meminta KPK untuk segera turun dan melakukan pemeriksaan. “Semakin cepat ditangani, tentu semakin besar peluang KPK untuk dapat menyelamatkan uang negara. Walaupun saat ini ada Perppu yang luar biasa itu, yang bisa saja digunakan untuk membuat tidak bisa diperiksa secara hukum, atau berlindung dari jerat hukum. Sebagai praktisi hukum, saya tidak pernah setuju ada aturan, apalagi UU yang memberikan kekebalan atau impunitas, rawan abuse of power,” ungkapnya.

Dalam rezim hukum manapun, kata dia, doktrin impunitas sudah ditinggalkan. “Power tends to corrupt absolut power tends to corrupt absolutely,” katanya.

Perppu tersebut  menegasakan beberapa aturan main yang digariskan secara tegas oleh konstitusi. Antara lain peran DPR RI dalam hal legislasi dan pengawasan. Kemudian juga menghilangkan peran BPK sebagai satu-satunya yang diamanatkan oleh UUD sebagai lembaga yang dapat menentukam ada atau tidaknya kerugian negara.

“Kemudian menghilangkan kewenangan peradilan sebagai lembaga yang secara konstitusi adalah yang dapat menentukan ada atau tidaknya perbuatan (tindak pidana). Sekali lagi Perppu ini harus dibatalkan atau siap-siap Rp5,6 triliun uang negara yang didapat dari utang bisa lenyap,” katanya.

Dia juga menyarankan, sebaiknya Kartu Pra Kerja melibatkan Kementerianan Tenaga Kerja, karena  memiliki data valid, paling tidak untuk data tenaga kerja korban PHK. Kementerian Tenaga Kerja memiliki dinas-dinas di kabupaten/kota, sehingga harusnya tidak perlu sebuah content provider yang tidak jelas pengalaman dan legitimasinya. Khusus bagi korban PHK, lanjutnya, tentu cara pelaksanaan Kartu Pra Kerja dengan sistem tersebut salah sasaran. Bagi masayarakat, korban PHK yang dibutuhkan adalah pekerjaan atau bantuan langsung tunai, bukan pelatihan, karena mereka notabene sudah memiliki pengalaman, bahkan keterampilan khusus.

“Belum lagi content provider tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi atau ijazah, dan lain-lain. Saya tidak masalah jika ada perusahaan (content provider) yang memeroleh untung dalam kegiatan bisnisnya. Yang jadi masalah, untung besar itu didapat dari uang negara dalam kondisi yang sangat susah saat ini. Dan ini tidak bisa ditolerir,“ katanya. (dri/rls)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: