Perempuan Bukan Lagi Sebagai Pelengkap Rumah Tangga
TAK bisa dipungkiri, agar perempuan bisa mencapai semangat kesetaraan gender, kaum hawa dibayangi pengaruh budaya. Budaya timur seperti di Asia Tenggara, menilai perempuan sebagai pelengkap rumah tangga atau kaum nomor dua. Dalam peringatan hari Kartini pada 21 April, perempuan Indonesia diminta meneladani semangat Kartini untuk terus maju, sejajar dengan pria.
Hal itu diungkap oleh Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist dan Duta Besar Canada Mission Ambassador Diedrah Kelly baru-baru ini saat berbincang dengan JawaPos.com. Mereka mengakui bahwa pengaruh budaya menjadi tantangan yang dihadapi.
Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist menilai, selama ini beberapa tantangan budaya membuat perempuan justru semakin maju untuk tidak lagi menjadi kelompok nomor dua. Memang ada budaya Konco Wingking dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia. Istri dianggap sebagai pelengkap rumah tangga seorang suami. Yang diurus hanyalah masalah-masalah seputar kasur, dapur, dan sumur.
“Kewajiban seorang isri hanyalah macak, masak, mlumah, manak, dan momong anak. Istri yang mampu melakasanakan lima kewajiban terhadap suami itu,akan dipujinya sebagai istri sejati. Namun kini sudah bicara bagaimana kita secara bersama untuk mengutamakan kesetaraan gender,” tegas Anindya.
“Jangan diskriminasi perempuan jadi orang kaum nomor dua, ini adalah tanggung jawab kita dan bagaimana pria harus mengerti soal itu,” kata Anindya.
Duta Besar Kelly mengatakan ada juga faktor budaya yang memengaruhi beberapa batasan bagi perempuan. Dan ia menilai, menikah adalah sebuah kondisi yang kompleks. Ia berharap di dalam setiap hubungan pernikahan juga harus ada komunikasi yang jelas dan saling mengerti antar pasangan. Dan juga berusaha dalam setiap mediasi, komunikasi, dialog.
“Semua itu bisa jadi solusi, banyak media yang tersedia, dan identifikasi apa yang dibutuhkan. Sehingga kesadaran dalam rumah tangga dan komunitas bisa membuat setiap orang lebih terbuka dan meski menghadapi tantangan dalam budaya,” jelasnya.
Jaringan Aksi Feminis Asia Tenggara (SEAFAM) dimulai pada Agustus 2020 untuk membangun dan memperkuat gerakan feminis di Asia Tenggara, dengan fokus awal di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ketiga negara tersebut saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia.
Masalah-masalah tersebut ditandai dengan rezim pemerintahan yang semakin menindas, meningkatnya pembatasan kebebasan berbicara dan berserikat, munculnya kelompok-kelompok intoleran dan ultra-konservatif, penganiayaan terhadap para pembela hak asasi manusia, serta tingginya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya. Menghadapi situasi ini, mereka membangun gerakan solidaritas untuk mendukung dan memperkuat kerja feminis di seluruh Asia Tenggara.(jawapos)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: