Batin Felicia
Yang menarik adalah ini: mengapa Felicia membawa-bawa Pak Jokowi. Bukan hanya membawa-bawa, tapi justru menjadikan Pak Jokowi fokus videonyi itu.
Sebenarnya itu sangat berlebihan. Menjadikan Pak Jokowi sebagai sasaran sangat tidak nyambung.
Ini kan soal hubungan dua anak muda. Yang selama lima tahun mereka pacaran. Yang sudah saling memberi tahu keluarga besar. Yang keinginan kawin sudah dibicarakan. Yang di acara-acara keluarga sudah saling dilibatkan.
Seperti sudah pasti Felicia-lah istri Kaesang –sebentar lagi. Ternyata ambyar.
Dari video itu, saya tidak melihat Felicia menuntut yang berlebihan. Misalnya, harus tetap kawin. Atau harus mendapat ganti rugi harta benda.
Felicia terlihat hanya minta ada penyelesaian. Sebelum ada penyelesaian itu, Felicia merasa belum tahu apakah dia itu sudah ditinggalkan atau belum. Ghosting, di mata Felicia, rupanya dianggap bukan bentuk penyelesaian.
Dalam istilah umum sebenarnya lebih sederhana: datang tampak muka, hilang harus tampak belakang. Apalagi, ini menyangkut seorang gadis yang entah apa saja yang sudah dia korbankan.
Terlihat ada perbedaan budaya di dalamnya. Satu, budaya berterus terang. Satu lagi, budaya menghilang. Yang punya budaya terus terang menuntut sesuatu itu harus jelas. Yang punya budaya menghilang rupanya berprinsip: situ yang harus merasa sendiri.
Saya tidak percaya Kaesang menggerakkan buzzer untuk mem-bully habis Felicia. Mungkin para buzzer sendiri yang mencoba mengambil hati Kaesang. Tapi, dampak bully masif itu begitu dalam bagi Felicia.
Dia seperti kehilangan segala-galanya. Saya bersyukur dia mengatakan telah mencoba menguatkan diri. Tidak sampai seperti di Amerika Serikat: murid yang tidak tahan atas bully sampai meloncat dari bus sekolah yang lagi melaju di jalan raya.
Maka, kakanda Kaesang benar ketika mengatakan ”selesaikanlah”. Sang kakak, Gibran, yang kini menjadi wali kota Solo, memang dikejar wartawan. Gibran ditanya soal Kaesang. Jawab Gibran seperti itu. Yang itu ditujukan kepada adiknya, lewat media.
Saya setuju dengan Gibran. Selesaikanlah. Tidak semua orang punya budaya ”bisa mengerti sendiri”. Kaesang punya gerbong besar. Atau bagian dari gerbong besar. Jangan sampai gerbong besar itu mengangkut asap yang hitam.
Saya tidak tahu dari daerah mana Felicia berasal. Dari bahasa Indonesia yang dia gunakan, pastinya dia bukan orang Jawa. Intonasi kata per katanya ”sangat Indonesia”. Kelihatannya Felicia dari Sumatera. Atau Riau. Atau Kalimantan. Budayanyi adalah budaya terus terang. Apalagi, lama pula sekolah di Singapura.
Felicia memang keterlaluan menjadikan Pak Jokowi sasaran utama. Tapi, itu tadi, dia sudah merasa mentok. Mau ke mana lagi. Berbagai usaha sudah dilakukan. Termasuk pun neneknyi yang berumur 84 tahun. Sang nenek sampai ke Istana Bogor. Tapi tidak berhasil. Dalam istilah Felicia, ”Kami menghadapi tembok yang tebal”.
Felicia juga berlebihan membawa-bawa konstitusi negara. Apalagi juga Pancasila. Tapi, orang seperti Felicia menganggap Pancasila itu harus seperti agama: yang mengaku Pancasilais juga harus menjalankan Pancasila. Bagi Felicia, menjalankan Pancasila itu sederhana: jangan menyakiti orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: